Sudah menjadi tradisi di keluarganya, menjelang Imlek dia bagi-bagi kue keranjang untuk para tetangga dekat. Nanti pada hari raya lebaran atau Natal ganti dia yang mendapat kiriman berbagai macam makanan dari para tetangga.
Ketika aku sampai di depan rumah Cik Lien, jendela dan pintu rumahnya tertutup. Mungkin lagi sembahyang di klenteng, atau siapa tahu masih di pasar. Namun waktu aku masuk rumah, ternyata suasana rumah sepi. Istriku tidak ada. Begitu juga Nuri anak semata wayang kami.
Waktu aku membuka WA tidak ada pesan apa-apa dari istri dan anakku. Aneh. Biasanya kalau mau pergi keduanya pasti memberitahu lewat WA atau inbox. Tapi kali ini tidak.
Waktu aku duduk di kursi dan mencopot sepatu, mendadak aku tersenyum. Ternyata di meja tamu sudah ada dua buah kue keranjang. Satu warna hijau yang satu warna cokelat. Aku yakin sekali bahwa kue itu pasti pemberian Cik Lien.
Tidak mungkin istriku membeli di pasar. Dia tidak begitu suka makanan manis. Kebalikan dengan diriku yang suka makanan serba manis.
Hmm. Harus diiris dengan pisau. Tidak bisa kue keranjang dicuil begitu saja. Saat aku mau beranjak ke dapur mengambil pisau, niat itu kuurungkan. Ternyata di meja itu sudah ada sebilah pisau belati.
Mungkin kepunyaan Nuri yang sengaja diletakkan di situ agar bapaknya bisa langsung menikmati kue kesukaan.
Kue keranjang dalam bahasa Mandarin disebut Nian Gao. Nian artinya tahun, Gao artinya kue. Jadi kue itu hanya dibuat setahun sekali untuk menyambut hari raya Imlek.
Dalam dialek Hokkian kue itu disebut Ti Kwe, artinya kue manis. Dibuat dari tepung beras ketan dan gula maka rasanya memang manis.