“Di mana kejamnya?” tanyaku.
“Pisau belati dibuat untuk membunuh!”
“Siapa bilang?”
“Semua pasukan komando selalu menggunakan pisau belati sebagai senjata pembunuh andalan. Jika mereka sudah kehabisan peluru, maka pisau belati yang dipakai untuk membunuh!”
“Itu bayonet namanya,” kilahku. “Lebih panjang, lebih tajam, lebih mematikan. Lihat, cuma berapa sentimeter panjang pisau belati ini?”
“Ide pembuatan bayonet terinspirasi dari pisau belati.”
“Tapi awalnya pisau belati tidak untuk membunuh. Hanya sebagai kelengkapan untuk para pandu. Itu yang diajarkan oleh Boden Powell bapak pandu sejagad. Hanya untuk kelengkapan para pandu jika mereka harus memasuki hutan atau saat para pandu melakukan latihan jurit malam. Hanya untuk berjaga-jaga saja.”
“Berjaga-jaga dari siapa?”
“Ya dari siapa saja yang mengancam para pandu. Bisa binatang buas, bisa begal, atau orang-orang yang tidak senang dengan pandu!”
“Itu artinya pisau belati itu memang bisa dipakai untuk membunuh atau melukai, bukan?”
Busyet! Cerdas sekali sumber suara itu. Tapi suara siapa ini? Apa Dewa Cau Kun Kong sudah masuk ke dalam rumahku?
“Jadi aku tidak boleh makan kue keranjang ini?” protesku.
“Siapa yang melarang?”
“Kamu! Entah siapa dirimu. Makhluk halus atau dhemit dari mana. Apakah kamu utusan Dewa Cau Kun Kong? Kamu yang melarang aku makan kue keranjang. Buktinya aku tidak boleh memotong-motong kue ini pakai pisau belati. Apa aku harus brakoti kue ini tanpa harus dipotong-potong lagi?”
Tidak ada suara yang menjawab. Dadaku naik turun menahan emosi. Marah, jengkel, tersinggung, semua menggumpal jadi satu. Hanya ingin mencicipi kue keranjang saja ada kekuatan gaib yang seolah-oleh menghalang-halangi.