DALAM perjalanan pulang dari luar kota aku sudah membayangan wajah tetangga di samping pos ronda.
Aku biasa parkir mobil di depan rumahnya. Awalnya aku enggan karena khawatir mengganggu si empunya rumah. Tapi dugaanku meleset. Malah dia yang meminta aku parkir mobil di depan rumahnya.
Kalau parkir di lahan kosong di pinggir kali rawan pencurian, katanya. Gampang bagi yang mau berniat jahat untuk mencongkel kaca jendela dan mengambil apa saja yang ada di dalam bagasi.
Bahkan bisa saja orang jahat itu memecah kaca mobil. Siapa yang peduli. Selepas pukul sepuluh malam tempat itu sangat sepi dan agak gelap. Ya risiko punya mobil tapi tidak bisa dibawa sampai depan rumah karena gang masuk kecil hanya cukup dilewati sepeda motor.
Pernah aku mau memberi sekadar uang sewa atau tanda terima kasih. Namun ditolak mentah-mentah.
“Mas Sam mengira saya mata duitan ya?” semprotnya to the point. “Mentang-mentang saya keluarga Cina lalu segala sesuatu dinilai dengan uang? Hohoho… tidak semua berwatak begitu, ya. Saya tetap manusia normal yang butuh duit. Tapi bukan berarti lalu mata duitan!” lanjut Cik Lien.
Begitu kami para tetangga memanggil dia. Namanya Lien Hoa Nio. Keluarganya sudah tiga generasi tinggal di kampung kami. Dulu engkongnya yang membangun rumah. Sangat sederhana.
Karena keluarga itu masuk kategori ‘Cina tidak punya toko’ alias Cina melarat. Engkongnya memang punya kios kecil di pasar untuk jual rempah-rempah. Dan hanya itu satu-satunya sumber nafkah mereka.
Engkong Han, begitu kami memanggil. Cik Lien adalah anak bungsunya yang menjadi perawan tua. Aku bayangkan wajah Cik Lien karena dia pasti sudah memberi kue keranjang di rumahku.