Juga pedang, keris, tombak, yang dulu dipakai para prajurit kerajaan-kerajaan di Jawa sebelum masuknya senjata api bermesiu.
Lalu mengapa aku tidak boleh memotong-motong kue keranjang menggunakan pisau belati? Ah, ya, ya, mungkin Dewi Sri tidak suka kekerasan. Seperti Dewi Kwan Im. Kedua dewi itu sama-sama suka kelembutan.
Karena sama-sama menebarkan kasih sayang. Dewi Kwan Im menebar kasih sayang di Tiongkok sana pada mulanya, sedang Dewi Sri di tanah Jawa.
Lalu apa hubungannya antara kue keranjang, kelembutan dan Dewi Sri? Ada. Bukankah Dewi Sri pelindung para petani di pulau Jawa? Bukankah kue keranjang bahan utamanya tepung beras ketan? Siapa yang menanam beras ketan? Petani!
Ah, mungkin itu benang merahnya. Kue keranjang dibuat dari tepung beras ketan maknanya agar antara yang memberi dan menerima terjalin persaudaraan yang lengket seperti ketan.
Begitu cerita Cik Lien dulu. Siapa pun yang menikmati kue keranjang agar selalu ingat siapa yang sudah menanam beras ketan. Ingat siapa yang membuat, ingat siapa yang memberi.
Ternyata makna kue keranjang tidak beda dengan juadah atau wajik. Juadah dan wajik ini termasuk rangkaian utama dalam tradisi lamaran calon pengantin. Biasanya yang membawa dari keluarga calon pengantin laki-laki.
Maknanya agar kelak terjalin rasa persaudaraan yang erat dan lengket seperti ketan di antara kedua keluarga besar besan tersebut. Ah, ternyata tradisi masyarakat Tiongkok nun jauh di sana tidak beda jauh dengan tradisi masyarakat Jawa di sini.
Tapi kenapa aku tidak boleh memotong kue keranjang dengan pisau belati?
“Itu terlalu kejam!” tiba-tiba ada suara yang seolah-olah menjawab pertanyaanku. Meski hanya dalam hati namun ternyata ada yang tahu.