Hmm. Baru kali ini aku mengalami keanehan yang tidak masuk akal. Niatku hanya ingin menikmati kue keranjang. Setahun sekali. Mumpung ada tetangga baik yang memberi, tapi kenapa malah muncul suara-suara aneh seperti berasal dari alam gaib?
Munginkkah Dewa Cau Kum Kong marah? Menurut mitologi Tiongkok kuno kue keranjang awalnya memang dipersembahkan untuk Dewa Tungku itu. Biar dia tidak marah, lalu selama setahun ke depan tetap mau menjaga tungku rumah orang-orang yang percaya.
Bayangkan kalau sampai tungku-tungku tidak bisa digunakan untuk masak? Mau makan apa keluarga-keluarga itu. Beli? Bisa saja. Tapi mahal. Bukankah keluarga-keluarga Cina dikenal super hemat untuk urusan makan?
Mereka bisa makan apa saja dalam jumlah yang sangat minimal. Selama situasi ekonomi keluarga masih pas-pasan, pantang bagi mereka makan enak dengan harga yang mahal.
Dua buah kue keranjang kupandangi. Keduanya tetap diam. Pisau belati kuletakkan di sampingnya. Aku yakin pisau belati itu belum pernah untuk membunuh orang. Untuk membunuh binatang pun pasti belum pernah.
Nuri sangat menyayangi semua makhluk ciptaan. Semut pun ia enggan membunuhnya meski sering merubung gelas minumannya. Juga nyamuk yang mengincar darahnya ia biarkan tetap hidup.
Paling ia cuma mengusir agar nyamuk itu menjauh dari tubuhnya. Jadi tidak mungkin di dalam pisau belati tinggal roh halus. Sebab begitulah konon hukumnya. Jika senjata tajam sering untuk membunuh makhluk hidup, maka nyawa makhluk itu tinggal menetap di dalam senjata itu.
Karena itu sering ada senjata yang ‘haus darah’. Ia akan mencari korban jika sekian lama tidak digunakan untuk membunuh atau sekadar melukai. Seperti pedang samurai yang dipakai para shogun di Jepang.