Sri bisa dan mendapat nilai lebih bagus dari saya. Di rumah saya diajari bapak sampai paham pembagian dan perkalian. Di sekolah setelah ulangan lagi saya mendapat nilai 10, melebihi nilainya Sri saat itu. Tentunya saya gembira.
Bapak tiap malam mengajari saya membaca, menulis, berhitung dan beberapa pelajaran lain saat itu. Bapak mengajarinya dengan keras. Kalau malam tiba sepertinya menjadi waktu yang tak enak bagi saya.
Bapak selalu memegang penggaris kayu tebal kalau sudah mengajari pelajaran. Kalau tak bisa, kayu itu dipukulkan di kepala. Saya jadi berpikir keras untuk menjawab pertanyaan bapak. Waktu sepertinya mengalir dengan sangat lambat.
Malam seperti tak bergerak. Saya ingin waktu biar cepat berlalu. Ibu biasanya yang menjadi penyejuk hati. Bila dirasa cukup, ibu lalu mendekat ke meja belajar dan menenangkan putranya. Lalu ibu berkata, ”Sudah Pak. Mari makan malam dulu…”
Kalimat itu yang selalu saya tunggu di antara waktu belajar. Kalimat itu seperti kalimat penyejuk yang menentramkan. Seperti air es di musim panas. Sejuk dan menyegarkan.
Begitu berlangsung hampir setiap hari sampai kelas 3-4. Dan kelas lima saya sudah mandiri dengan belajar sendiri. Saya sudah mengerti akan fungsi sekolah dan mulai senang sekali membaca. Buku apa saja saya baca.
Sampai majalah-majalah orang tua saya baca. Juga potongan koran bungkus kacang. Bapak juga mulai mengerti kalau anak-anaknya suka membaca maka sering dibawakan juga buku-buku cerita dari perpustakaan. Saya membaca juga majalah Si Kuncung dan Bobo yang banyak di sekolah TK tempat ibu bekerja sebagai guru.
Ada rubrik yang menarik dari si Kuncung. Selain cerita anak ada juga Obrolan dari Nenek Limbah. Di Bobo ada Coreng, Upik, Emak dan Bapak. Ada Paman Kikuk, Husin dan anjingnya Asta.