Hasil panenan tidak terlalu penting. Yang penting seluruh siswa badannya penuh dengan lumpur. Sama juga dengan sepakbola di musim hujan, kalau badan belum penuh lumpur itu belum sepak bola.
Ada juga kegiatan kerja bakti dengan mengumpulkan batu dan bata untuk ditata sebagai taman di depan kelas masing-masing. Kita juga menanam sendiri taman-taman itu. Ini semua pelajaran yang tak ada di kelas dan siswa benar-benar gembira.
Saat itu akan diadakan lomba macapat di kelas. Semua murid menghafalkan tembang yang akan dinyanyikan. Saya menghafal lagu macapat Pangkur dengan judul Jenawi Pereng Hargo dan syairnya sampai sekarang masih mengingatnya.
Neng pereng ing Lawu Hargo/Tansah mesem mulat kanan lan kiri/Tirtaning wening amancur/Jenawi pereng hargo/Loh jinawi subur kan sarwo tinandur/Kebon karet bebanjengan/Sinoman, tanaman kopi.
Kenangan itu menari-nari indah di kepala. Rasanya baru kemarin saja. Waktu 50 tahun rasanya hanya sekejab. Di hari guru, saya hanya dapat mengenangkan Bu Warni, Bu Wagiati, Pak Sikan, Pak Parjo dan siapapun nama guru.
Entah mereka semua ada dimana. Sambil rengeng-rengeng nembang Pangkur, saya hanya dapat mengeja seadanya. Semoga semua baik-baik saja selanjutnya. Seperti pidato Mas Menteri.
Mentari sudah mulai panas di kulit. Ternyata sudah mulai masuk waktu duha. Istri juga sudah dari tadi menyapa dan mengajak sarapan bersama. Kunikmati singkong jalak towo goreng yang hangat dan enak di lidah.
Kuminum air teh Kemuning dengan rasa sepet yang kentara. Semoga harapan guru tidak seperti rasa sepet teh Kemuning. Perlu ditambah rasa manisnya seperti pidato Mas Menteri supaya seimbang. ***