Guru lain adalah guru agama yang bernama Pak Parjo. Bila ke sekolah Pak Parjo naik sepeda. Badannya kekar, gempal dan berkulit hitam. Kalau mengajar termasuk keras. Kami diajari menghafal sahadat dengan suara keras.
Awalnya kami diajari dengan menirukan bersama isi kalimat sahadat. Sedang Pak Parjo memberi aba-aba dengan tangannya seperti seorang dirijen memimpin orkestra. Kami mengikuti saja. Satu per satu kami disuruh maju mengucapkan kalimat sahadat di bawah tatapan matanya yang mengawasi. Kami cepat bisa menghafal di bawah tatapan mata Pak Parjo.
Kelas satu saya lewati dengan lancar. Sekarang sudah kelas dua dengan jam sekolah masuk siang jam 10.00 sampai siang. Gurunya juga Bu Warni. Lokasi kelas dua juga sama dengan kelas satu. Jadi kelas ini dipakai bergantian.
Tas saya sudah ganti dengan tas kulit hitam dengan talinya yang panjang. Tas saya sampirkan di pundak. Temen-temen bilang seperti iklan coca cola yang ada di TV yang masih sangat langka saat itu. Bila mau masuk kelas, biasa kita bermain-main dulu di halaman sekolah.
Nah, tas yang dibawa itu diselipkan di antara dinding bambu dan gapitnya sehingga dinding yang sudah tidak rata itu makin merana saja. Penuh lekukan.
Kelas dua, baru mulai belajar membaca dan menulis. Mengeja tulisan pendek dan ada gambar di sebelahnya. Tulisan paling sederhana. Sapu dan di sebelahnya ada gambar sapu. Lele, di sebelahnya ada gambar ikan lele.
Ikan di sebelahnya ada gambar ikan. Kami belum bisa membaca tetapi tahu gambar apa. Terus hanya mengucapkan sambil dituntun guru. Sapi, buku, meja, kursi dll. Lalu meningkat ketiga huruf. Ada tulisan, gambar dan dihafalkan.