Semua keluarga yang hadir, tersedu, mengira nenek dengan rambut putih akan pergi.
Salah satu cucunya lalu berdoa, meminta diberi kesempatan untuk berbuat lebih banyak kebaikan. Bahkan mencebokinya tak masalah. Dan beberapa saat kemudian, nenek bersuara, meminta semua yang hadir di sana tetap tenang. Masih saja dikhawatirkannya orang-orang di sisinya.
Keesokan harinya, saat selang infus nenek sudah terlepas sendiri, dokter yang berkunjung paginya dan bahkan tak tahu kejadian suntikan itu, mempersilakannya pulang. Semua anggota keluarganya senang.
Putranya bilang akan menggendong. Salah satu cucunya bilang pakai kursi roda saja. Tapi ia bilang bisa jalan saja. Lagi pula kursi roda baru rumah sakit, sepertinya sulit dilepaskan perawat. Entah bagaimana, sampai kursi roda itu bisa digunakan kemudian.
Seminggu pertama, nenek Tahang belum bisa salat. Putranya bilang asal tetap ingat Tuhan. Tapi ia rupanya tak bisa lama-lama ketinggalan salat. Jadinya cucunya bantu ke kamar mandi, menemani wudu, dan salat.
Ia bahkan salat sunat temannya salat fardu, meski salat tahajud dan duha tak bisa dilaksanakannya lagi. Itu berlangsung selama sebulan lebih.
Sebulan berikutnya, kakinya jadi agak gemetaran, tidak bisa menahan berat tubuh. Mesti dipapah cucunya yang baru benar-benar merasa neneknya memberinya beban. Ia bahkan hanya bisa salat duduk. Agama juga memperbolehkan itu.
Hanya saja sebulan berikutnya, nenek Tahang tiba-tiba merasa sesak nafas. Nafasnya pendek-pendek. Katanya asma. Bergerak sedikit saja, bisa capek. Ia merasa bersalah. Tak bisa mengerjakan kewajibannya. Tak bisa berbuat apa-apa. Ia merasa menjadi beban.