Putranya dengan cepat menggendongnya, membuat sudut bibirnya terangkat. Ia merindukan putranya yang kemudian menikah dengan pilihan hatinya.
Hajah Tahang lalu tinggal dengan keluarga putranya. Berkali-kali saudaranya mengajak tinggal bersama, berkali-kali ia tolak. Ia bahagia bersama putranya. Ia masih bisa menjadi ibu yang baik. Juga akan menjadi nenek yang akan menyayangi cucu-cucunya.
Meski hidup semakin tak mudah. Dengan berbagai angka yang menjadi semakin tinggi pencapaiannya. Ia tetap bertahan di sisi putranya yang bahkan menderita kecemasan. Tetap menyokong putranya.
Ia sadar menantunya kadang tak suka jika ia terlalu mempelakukan putranya masih seperti anak kecil. Ia mengerti.
Nenek Hajah Tahang lalu mendapat cucu pertama, disusul cucu kedua, semuanya gadis-gadis. Ia menyanginya. Ia senang menjemput cucunya ke sekolah.
Pergi dengan jalan kaki dan kembali bersama cucunya naik becak. Ia senang dengan cucunya yang selalu juara satu, meski ia hanya tahu bentuk angka satu sampai dua belas.
Tiga cucu nenek Hajah Tahang lalu hadir dalam kurun waktu sepuluh tahun. Dan dengan lima cucu, ia begitu senang. Meski karakter mereka berbeda, kelimanya punya hal yang sama, mereka sangat mencintai nenek Hajah Tahang.
Dan tahun 2017, tahun lalu, berarti sudah dua puluh empat tahun Tahang menjadi Nenek. Empat bulan yang lalu, ia masuk rumah sakit. Putranya masih memboncengnya, sebelah tangannya memegang botol air minum dan tasbih kecil yang disambungnya sendiri.
Tapi dokter bilang, ia harus dirawat. Meski ia terlihat baik, semua cucunya menangis sembunyi-sembunyi. Dan suatu waktu, saat perawat yang tidak bilang apa-apa pada keluarganya, menyuntikkan—kata orang suntikan anti biotik yang membuat nenek Tahang tak sadarkan diri beberapa saat.