SETELAH susah payah bangkit dari kubur, melepas ikatan di kepala dan kaki, menyisihkan tanah dari tubuhnya, Sutaryono celingukan sebentar sambil mengerjap-ngerjapkan matanya, lalu berjalan keluar dari area pekuburan mencari warung nasi.
Rada sempoyongan seperti mabuk dia menyusuri jalan setapak yang bersisian dengan sungai kecil. Dia berjalan sambil menahan perutnya yang keroncongan.
Sesekali dia hampir jatuh terperosok ke dalam sungai, lalu berhenti sebentar untuk memeriksa dengkulnya yang ternyata baik-baik saja.
Hanya napasnya mulai terdengar ngos-ngosan. Matahari yang memancar terang dari arah depan menyilaukan matanya.
Tetapi rupanya tidak mudah menemukan desa terdekat dari area pekuburan. Setelah hampir setengah jam berjalan linglung barulah Sutaryono ketemu warung nasi di pojok persilangan yang sepi, tak ada orang lewat sama sekali.
Dia langsung masuk dan memesan sepiring nasi dengan lauk setengah baskom sayur asem, ikan asin, tempe, serta lalapan lengkap dengan sambal tentu saja.
“Sepertinya baru bangkit dari kubur, Kang?” kata ibu warung sambil melayani pesanan.
“Sudah jangan banyak cingcong. Minumnya dulu cepat sini, es teh manis. Haus banget anjir!” serunya seraya menghenyakkan bokong di bangku kayu.
Begitu pesanan datang dia langsung menyantapnya dengan buas tanpa cuci tangan lebih dulu. Ditendangnya ketika ada seekor kucing mendekat.
Tak berapa lama kemudian sebakul nasi telah amblas ke dalam perutnya. Dilanjut dengan dua pisang ambon ukuran jumbo yang ditelan hampir dengan kulit-kulitnya.
Sutaryono mengelus-elus perutnya yang kini terasa kenyang dan nyaman. Tapi masih disambarnya pula goreng pisang yang baru diangkat dari wajan. Lalu mulutnya mengeluarkan sendawa.