Tapi suami Tahang, tak bisa tetap membiarkan istrinya itu untuk selalu ikut. Ia tak ingin Tahang menjadi lebih kesulitan, bahkan setelah kelahiran putri pertama mereka. Hanya saja Tahang tetap ingin menjadi pendukung bagi suaminya.
Barulah saat kejadian Tahang tertembak dan membuatnya harus tinggal di kampung. Ia menurut. Suaminya bisa pulang kapan saja.
Tahun berlalu, Tahang memiliki seorang putri tertua, putra kedua, dan seorang lagi yang masih dikandungnya. Baru dua bulan ia tahu, bahkan belum ia kabari suaminya yang masih bertahan di perbatasan kampung.
Dan saat itu, ia mendapat kabar bahwa suaminya telah tertembak. Suaminya sendiri berjaga, saat tentara masuk ke tempat istirahat mereka. Seluruh pasukan suaminya menyerah bersamaan dengan pemimpin mereka yang telah menghilang.
Tahang kehilangan. Ia melahirkan tanpa kehadiran suaminya. Bahkan jasad suaminya tak bisa dikuburkannya.
Ia bersedih, tapi setahun kemudian ia gembira saat salah seorang teman, menunjukkan dimana suaminya kehilangan nyawa. Ia dan putra keduanya bersama ke tempat yang ditunjukkan teman itu.
Dengan tangannya sendiri, memindahkan tengkorak ke dalam kain sarung dan membawanya pulang ke kampung. Memberi tempat peristirahatan terakhir yang layak. Ia dan ketiga anaknya hidup bersama, kembali membentuk kebahagiaan.
Sama sepertinya, putra nomor duanya beberapa kali berganti nama. Orang bilang bapaknya akan mengambil anaknya itu, jadinya putranya itu selalu mimisan sebanyak setengah batok kelapa.
“Bapaknya nasuka anak ini,” begitu kata sanro, dukun kampung kepadanya.
Dan putranya itu mengganti nama. Tapi ia harusnya tahu, anaknya itu tak akan menghilang jika belum waktunya. Seperti putra ketiganya yang pergi karena waktunya memang telah tiba. Enam tahun usia si bungsu menghadap Tuhan.