NUAR benci hujan. Padahal Nuar lahir di hari, bulan, dan musim hujan. Bagi Nuar hujan menyiram kemalasan. Mengguyur ketergantungan. Menyuburkan parasit-parasit.
Hujan identik dengan romantisme. Itulah kesalahan besarnya. Nuansa gerimis menebarkan perasaan melankolis yang berlebihan.
Kadang bahagia yang tak terukur. Kadang sedih yang tak ternilai. Menghanyutkan. Membuat kita terombang-ambing dalam kekacauan perasaan.
Hujan lebat, apalagi berangin dihiasi petir menumbuhkan bibit-bibit ketakutan. Seolah kita butuh perlindungan. Sebuah dekapan. Kehangatan.
Benar Nuar menyimpan dendam. Pada kisah masa silam yang menyakitkan. Tentang ibunya yang menggantungkan hidup pada seorang laki-laki bernama suami. Ibu berkata itu pengorbanan. Kerelaannya sebagai seorang istri. Namun yang dilihat Nuar adalah suatu kebodohan panjang.
Suami ibu meskipun ayahnya sendiri adalah orang yang paling dibenci Nuar. Bencinya pada hujan sama besarnya pada bencinya pada ayahnya.
Suami ibu adalah pengangguran yang kasar dan bermulut pedas. Kerjanya tiap hari berjudi dan menghabiskan uang. Ibulah yang bekerja keras membanting tulang. Pun demikian, ibunya tak luput dari kekerasan psikis dan fisik.
Takdir Tuhan. Suami ibu meninggal tersambar petir pada mangsa songo. Di mana petir-petir di masa itu begitu buas. Seolah lapar mencari mangsa.
Tujuh tahun lalu, kala Nuar berumur sepuluh tahun. Laki-laki tak tahu malu itu tengah ribut soal batas tanah sawah dengan Pakde Firman. Padahal bukan tempatnya seorang suami mencampuri bagian warisan istrinya. Mau dikata apa lagi laki-laki itu memang tak bermoral sama sekali.
Sambaran petir membuat tubuh dua laki-laki yang bersengketa itu terpanggang. Suami ibu tak bisa diselamatkan sementara Pakde Firman masih diberi kesempatan hidup. Meski harus menanggung cacat seumur hidup.