Jarik Januari

CERPEN ENDANG SRI SULISTIYA

Sekali dua kali dituruti. Bukannya kenikmatan yang didapat membawa kelegaan. Justru terus kurang dan kurang. Nuar dikejar penasaran. Nuar tersulut ketagihan. Seperti ada yang hilang jika tak mendapatkan.

Mula-mulanya Nuar minta bantuan dengan dalih penelitian. Ketika mendapat penolakan, Nuar memohon dan mengiba dengan wajah melasnya. Tak tanggung-tanggung ia lengkapi dengan tangisan yang mampu mengundang belas kasihan.

Baru-baru ini saja Nuar mulai terbiasa memaksa. Itu karena candu telah menjadi racun dalam tubuhnya. Nuar tak segan lagi menyiksa siapa saja yang tak menuruti keinginannya.

Akumulasi. Lamban laun teman-teman Nuar mulai menaruh curiga. Perilaku Nuar mulai dipertanyakan dan dipergunjingkan. Satu dua orang mulai berani bersuara telah dirugikan.

Ombak bergulung tak lagi bisa ditahan menuju pantai. Ramai-ramai orang tak lagi malu membuka aib. Tumpah ruah hujatan seketika digelontorkan. Bahkan laporan ke polisi segera ditindaklanjuti. Sampai akhirnya Nuar mendekam di penjara. Sendiri memeluk ketakutannya. Tanpa ibu dan jariknya.

Hujan turun lagi. Sudah menjadi takdir Januari, hari-hari akan senantiasa diguyur hujan. Nuar terduduk di sudut sel. Merapatkan kedua kaki ke dada. Mengeratkan lipatan tangan. Menundukkan kepala pasrah. Mencoba mencipta kehangatan dalam dirinya.

“Saudara Januari, ada telepon untukmu,” ujar seorang sipir penjara.

Pintu sel penjara dibuka. Didampingi sipir penjaga di kanan dan kirinya, Nuar menuju ruang telepon. Baru sekian detik gagang telepon menyetuh daun telinganya, tubuh Nuar langsung ambruk ke lantai.

Sebentar menggigil. Lantas membeku bak balok es. Sambungan telepon baru saja mengabarkan bahwa ibunya telah tiada. Tewas gantung diri dengan lilitan jarik di leher. ***

Lihat juga...