Jarik Januari

CERPEN ENDANG SRI SULISTIYA

“Kamu adalah anak laki-laki. Kamu nantinya akan jadi pemimpin. Belajarlah hidup mandiri di kota orang,” bujuk ibu kala itu.

“Baik, Bu. Aku akan belajar. Aku juga akan berjuang karena aku tak mau seperti ayah,” jawab Nuar akhirnya luluh dengan permintaan ibunya.

Hujan tinggal gerimis. Gemericik airnya demikian berisik. Kilatan petir seperti tamparan keras di pipi. Menyakitkan. Sedikit demi sedikit keberanian Nuar terusik. Nuar bergidik. Menelan ludah yang tiba-tiba pahit. Bagaimana kalau petir itu melumatnya? Seperti dulu petir itu melumat ayahnya.

Nuar akui diri sebagai anak durhaka. Kadang Nuar merasa sedikit berdosa. Namun bisakah Nuar berbakti pada laki-laki sekejam ayahnya? Seorang ayah yang hanya menyandang gelar tanpa pernah belajar. Ya, ayahnya seorang yang tak mau berproses. Ayahnya selalu ingin hasil instan. Ingin hidup jaya tanpa berusaha.

Seorang ayah yang merasa berhak tanpa berkewajiban. Omong kosong soal menafkahi keluarga. Bualan belaka menjadi teladan bagi istri dan anaknya. Yang dipedulikannya hanya harta dan harta. Uang lagi dan uang lagi.

Sekarang hujan menyisakan tetes-tetes terakhirnya. Petir belum juga mau berakhir. Nuar membungkus tubuhnya dengan jarik. Membungkus ketakutannya. Sebetulnya Nuar malu mengakui dirinya juga parasit. Nuar selalu sepanjang hidupnya bergantung pada ibunya. Tak bisa berpisah dari ibunya.

Siapa gerangan yang hendak dibohonginya? Bahkan saat-saat hujan seperti sekarang ini, Nuar merindu berada di gendongan ibunya. Dulu adalah wajar ketika hujan ibu selalu menggendongnya. Mengelus kepalanya sembari merapal doa-doa. Melindunginya dari ketakutan. Menenangkannya. Hingga ia tertidur pulas. Bersua mimpi indah.

Lihat juga...