Jarik Januari

CERPEN ENDANG SRI SULISTIYA

Jika hujan kian mengganas. Semakin lebat diiringi angin, kilat dan petir. Maka ibu akan melilitkan jarik pada salah satu tiang rumah. Menaruh lampu tintir (lampu minyak tanah) yang menyala dalam tenggok (keranjang bambu). Meletakkannya di dekat tiang tersebut. Sambil mulut ibu bergetar membaca doa.

Sesekali ibu mengencangkan tali kunci gendongannya. Yang melonggar oleh desakan bobot tubuh anaknya. Sebelah tangan Ibu menarik ujung jarik untuk ditutupkan pada kepala Nuar. Kemudian menjangkau tiap-tiap penjuru rumah. Berdiam sejenak. Melafalkan surat-surat pendek yang dihafalnya.

Ada alasan di balik tindakan. Akan tetapi orang-orang cenderung menghakimi tanpa memahami lebih dahulu. Serta merta menudingnya aneh dan layak hujat. Padahal tak ada niat Nuar ingin menyakiti. Nuar hanya berupaya melindungi diri sendiri sementara, jauh dari ibu yang sewaktu-waktu dibutuhkannya.

Di perantauan, ibu membekali Nuar dengan jarik. Sebuah jarik yang senantiasa membersamai tumbuh kembangnya. Dari masa ke masa. Berawal dari bedong, gendongan hingga menjadi selimut. Jarik adalah wujud lain dari sosok ibu. Tak dipungkiri keduanya punya andil yang besar dalam hidup Nuar.

Dan sebagai anak ibunya muncul keinginan Nuar untuk berperan sebagaimana ibunya. Hasrat yang begitu besar. Bisa melindungi. Menjauhkan dan mengusir ketakutan. Sebagaimana jasa jarik pada musim hujan. Sebagaimana jasa ibu dalam setiap jengkal hidup Nuar.

Ada kenikmatan. Ada kepuasan. Kala melihat teman-teman yang terbungkus jarik itu terdiam. Tak bergerak. Tampak tenang. Pulas dalam tidurnya. Dan berjumpa dengan mimpi indahnya.

Seumpana Nuar menjelma menjadi seorang pahlawan. Berjasa mengantarkan kebahagiaan kepada teman-temannya. Itulah yang ada dalam bayangan Nuar. Meski kenyataannya sangatlah jauh berbeda.

Lihat juga...