Nuar tak sedikit pun sedih. Parasit itu telah pergi. Besar harapan Nuar ibunya lepas dari gantungan. Bebas. Berdiri, berjalan atau berlari. Melangkah ke depan.
Ternyata jalan hidup tidak sesederhana itu. Semenjak kepergian suaminya, ibu justru makin rapuh. Ibu serupa rumah hampir roboh karena kehilangan tiang penyangga.
Hal baiknya, ibu masih sanggup bertahan demi Januari. Anak semata wayang yang begitu disayang. Masih ada tanggung jawab besar yang dipikul sehingga ibu sekuat tenaga bertahan.
“Ibu harus melupakannya. Ibu pasti bahagia,” kata Nuar suatu kali.
“Mengapa kamu membenci ayahmu? Kalau tidak ada ayahmu, tidak mungkin ada kamu, Nuar,” kilah ibu seperti biasanya.
Ibu tak kurang dalam menasihati Nuar. Bagaimanapun buruknya seorang ayah tetaplah muasal seorang anak bermula dari sana. Sesekali ibu menjabarkan kebaikan suaminya meski terkesan mengada-ada. Namun begitu sosok ayah yang kejam tak bisa hilang dari kepala Nuar. Telanjur terekam dalam memori.
“Kamu itu hadiah terindah dari ayah untuk ibu. Dari matamu, ibu dapat melihat suamiku,” imbuh ibu membuat Nuar sesak. Ingin Nuar mendebat tapi artinya ia akan semakin mirip dengan ayahnya. Jelas Nuar tak suka disamakan dengan ayahnya. Nuar hanya ingin seperti ibu. Halus. Hangat. Nyaman.
Hujan masih turun. Menderas. Bergemuruh. Suara air yang jatuh susul menyusul dari langit serupa suara rusuh. Curah air menghantam tanah, atap, genting, pepohonan dan apa saja. Selayak tawuran yang membabi buta.
Nuar benci hujan sebagaimana ia membenci ayahnya. Bertambah benci. Apalagi jika tak ada ibu di sampingnya. Nuar sudah lulus SMA. Ibu memintanya kuliah di luar kota. Mulanya Nuar tak mau menuruti. Nuar tak bisa jauh dari ibunya. Namun ibunya terus memohon dan memaksa. Hingga Nuar tak punya pilihan lain lagi.