BEBERAPA kali, seorang wanita yang kuceritakan ini, punya nama yang berubah. Semenjak tiga kakaknya meninggal dan akhirnya hanya ia yang bertahan. Maka namanya pun menjadi Tahang.
Aku bahkan tidak tahu kapan tepatnya ia lahir. Tapi kudengar, saat ia masih bisa dengan bebas keluar rumah tanpa mengenakan sehelai kain di tubuhnya, nama Nippon terdengar. Sepertinya hanya kampungnya saja yang masih tak mengenal kata baju dan celana.
Saat penjajahan Jepang, ia menjadi pengamat yang hebat. Ia harus mengawasi adik-adiknya agar tak nampak di masa orang-orang yang bisa menjarah harta dan bahkan kehormatan. Jauh sebelum Tahang menjadi nenek, bagiku ia seorang penggembara, seorang wanita kuat, dan tak pantang menyerah.
Ia menjadi ibu dari adik-adiknya, setelah ayah dan ibu tirinya meninggalkannya untuk menjadi semakin kuat. Semua saudaranya menyayanginya.
Nama Tahang terkenal di seluruh penjuru kampung. Ia penunggang kuda yang baik. Bahkan meski ia pernah terseret kuda, orang-orang masih mengatainya wanita yang hebat. Ia juga bisa berjalan kaki dari kampung yang satu ke kampung lainnya dengan beban yang bahkan pria dewasa pun tak akan sanggup.
Mungkin karena ia diberkahi dengan segala tindakan kebaikan yang selalu ia lakukan pada orang lain, maka ia mendapat pria yang juga kuat. Seorang pria yang ingin mengentaskan penjajahan. Tapi hidup tak mudah untuk pasangan itu.
Rupanya suaminya mungkin tak bisa disebut sebagai pahlawan, tapi salah satu anggota pemberontak. Padahal mereka juga hanya ingin merdeka bersama bangsa Indonesia lainnya.
Selama bersama suaminya, Tahang ikut bertahan, setidaknya akan tetap menjadi pendukung pria yang dicintainya. Toh, tak ada yang ia langgar, ia tetap salat, mengaji, dan mengerjakan segala perintah Tuhan.