Dari pintu samping istrinya masuk. Itu kemunculannya pertama kali setelah dua hari meninggalkan rumah. Lalu dengan santai dan tanpa rasa salah mengatakan bahwa dia sudah lolos medikal. Dan minggu depan mulai mengikuti kelas bahasa Taiwan selama tiga bulan.
Tetapi yang paling membuat Faruk terbelalak dia muncul dengan potongan rambut berbeda. Dipotong lebih pendek. Satu senti di bawah telinga, memperlihatkan tengkuknya.
“Kamu mau meninggalkanku?” ujar Faruk menahan geram.
“Kenapa ngomong begitu? Aku mau bekerja untuk kebaikan keluarga kita,” cetus istrinya.
“Kamu mau menghancurkan keluarga?”
“Terserah pendapatmu!”
“Kamu tak memikirkan Mayang?”
Perempuan itu menatap Faruk. Laki-laki itu memalingkan wajahnya ke pot-pot tanamannya seperti mencari kekuatan kepada daun-daun hijau. Dia sudah menduga situasinya akan sampai seperti ini. Faruk terus menatap pot-pot tanaman hingga istrinya beranjak dari sana, masuk ke dalam kamarnya.
“Anak itu sudah dewasa. Dia bisa mengerti situasi ini dengan lebih baik ketimbang ayahnya,” kata istrinya dari dalam kamar.
Faruk beranjak kembali ke belakang, meneruskan kesibukan membuat pupuk organik. Saati itulah Mayang muncul sambil terus bicara di telepon.
“Keputusanku sudah bulat hubungan kita selesai sampai di sini. Aku tak mau punya pacar yang percaya omongan dukun!”
Sepotong percakapan itulah yang membuat Faruk lega dan terhibur. Membuat dia merasa tidak terlalu asing di rumahnya. ***
Cirebon, Februari 2019
Aris Kurniawan, lahir di Cirebon, 24 Agustus 1976. Menulis cerpen, puisi, resensi, esai untuk sejumlah penerbitan. Buku kumpulan cerpen terbarunya: Monyet Bercerita (Basabasi, 2019).