Kegemaran itulah yang dulu mempertemukan dan menyatukan mereka. Tetapi lihatlah, dari hari ke hari betapa kesulitan Faruk memahami pikiran, ucapan, dan tindakan istrinya.
Potongan rambutnya, baju-baju yang disukainya, tak berubah sejak pertama mereka bertemu. Istrinya menyukai potongan rambut sebahu. Tak menyukai warna-warna yang terang. Dan dia masih tergila-gila pada sesuatu yang simpel, termasuk dalam hal pakaian yang dia kenakan dan makanan yang dia pesan. Tapi kenapa pikirannya berubah begitu cepat?
Memutuskan untuk menikah dan hidup bersama dengan seseorang itu memang mudah, kata penasihat perkawinan yang sering dikutip dalam khotbah pernikahan. Yang berat adalah menjaga dan mempertahankannya. Butuh kesabaran.
Faruk tak tahu apakah dia mampu bersabar setelah kemarin istrinya berkata akan mendaftarkan diri jadi pekerja migran di Taiwan. Mungkin semuanya akan berakhir. Dia membenci perpisahan apalagi oleh penyebab yang konyol.
Dia sudah setengah mati berusaha. Bersabar. Namun rupanya sekarang harus menerima kenyataan bahwa dirinya hanya manusia biasa yang bisa terempas dari apa-apa yang telah diperjuangkannya.
Dia bersenandung untuk menutupi kemarahan sekaligus kehampaannya. “Seharusnya aku gembira apabila perpisahan benar-benar terjadi,” pikirnya. Karena itu berarti akan terbebas dari perempuan yang getol mengeluhkan apa saja. Dan menganggap suaminya seonggok kekeliruan yang tak ada habisnya.
engkau datang
ketika aku jatuh bangun dan jatuh
dalam langkah menyusuri kehidupanku yang kelam
dan hampir-hampir ku tak dapat melangkah lagi
Suara Utha Likumahuwa mengalun di ruang tengah. Lagu yang dia unduh dari internet. Faruk menyukai lagu itu, juga istrinya. Lagu itu dirilis tahun 1987, dari album Festival Lagu Populer Indonesia.