“Istrimu pun tak pernah ada kalau kamu tak memikirkannya,” gugat istrinya. Dia kadang begitu lihai skakmat kalimat suaminya. Itu membuat perempuan itu senang namun tak puas. Maka dia akan terus mengoceh.
Faruk tak akan berhasil menghentikannya, kecuali dia berharap ada perdebatan yang akan meledak jadi pertengkaran. Lebih mudah bagi dia memilih mengalah dengan meninggalkannya duduk di beranda minum kopi, seperti yang disarankan syair lagu dangdut koplo. Atau menyibukkan diri dengan tanaman cabai dan kemangi di pekarangan samping rumah.
Dari sini suara istrinya masih jelas terdengar, tapi Faruk pura-pura tak mendengar. Syukurlah dengan melihat tanaman cabai dan kemangi yang tumbuh subur serta hijau mampu melarutkan geram dan kejengkelannya ke udara, lalu diserap daun-daun kemangi dan cabai.
Sejak dulu dia memang senang menanam dan berkebun meskipun orangtuanya bukan petani bukan pekebun. Kegiatan itu memberinya kebahagiaan. Setiap melihat lahan kosong sesempit apa pun dia suka gatal untuk menanami atau menaruh pot di atasnya.
Dia bercita-cita bila punya banyak uang akan membeli lahan di depan rumahnya untuk dijadikan kebun sayur organik. Dia pernah mengatakan hal itu pada istrinya, dan perempuan itu setuju.
Tetapi cita-cita tinggal cita-cita karena dia tak pernah memiliki uang yang cukup untuk menggusur lahan mana pun. Maka sisa sedikit lahan samping rumahnya jadi tempat melampiaskan kegemarannya itu di sisa waktunya bekerja.
Dulu istrinya yang memiliki kegemaran sama turut senang, namun kini menjadi salah satu sumber persoalan. Kebun kecilnya dianggap membuat sumpek pekarangan. Kalau seseorang sudah benci padamu, dia akan membenci apa pun yang kamu lakukan. Faruk ingin menepis kalimat yang berdenging di benaknya itu.