“Sepuluh ribu!” katanya.
Aku bergegas masuk mencari uang sepuluh ribu yang mungkin masih tersisa di saku celana atau bajuku.
“Sudah lapor polisi?” tambahnya lagi.
Aku menggeleng sembari menyerahkan 2 lembar uang lima ribuan kepadanya, ia pun mencatatnya di kertas kecil dan menempelkannya di pintu.
Tidak ada yang menarik darinya. Penampilannya cukup menyedihkan, ia memakai baju yang lusuh dan penuh jahitan acak, kulitnya legam dan kukunya menghitam.
Tidak ada yang terlalu peduli padanya, ia hanya dianggap angin lalu oleh sebagian warga. Tidak pernah dihormati atau disegani dan mungkin tidak dianggap ada.
Terkadang juga ia mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan dari para penyewa kontrakan. Ketika ditagih uang iuran, kebanyakan sering memasang muka masam atau mengomel, ada juga yang hanya melemparkan seenaknya.
Walau begitu, ia tetap mencoba ramah pada semua orang. Sepertinya sikap kasar orang-orang tidak membuatnya jera. Terlebih karena mungkin hanya itu satu-satunya yang bisa ia lakukan untuk bertahan hidup.
Uang iuran keamanan pun bukan untuk dirinya sendiri tapi dikelola oleh pemuda kompleks, ia hanya mendapat sebagian kecil dari uang setoran.
Satu hal yang sering kuperhatikan dari petugas keamanan itu, adalah pulpen empat warna yang biasa ia bawa dan gunakan untuk mencatat. Pulpen itu sering ia gunakan untuk melampiaskan kekesalannya pada penghuni kontrakan yang suka mengomel dan pasang muka masam.
Meski ia terlihat tersenyum ramah, namun dari cara ia menekan dan mendorong bergantian pulpen empat warna itu, aku tahu ia sedang merasa jengkel.
Ia mengucek-ngucek matanya yang masih setengah tertutup menahan kantuk. Hari ini ia terlihat sangat ramah padaku bahkan terkesan berlebihan. Mungkin ia bersimpati dengan apa yang terjadi padaku atau ia merasa bersalah dan malu karena mencoreng pekerjaannya sebagai penjaga keamanan. Entahlah.