Malang

CERPEN SITI HAJAR

Pagi ketika semua orang membuat harapan, saat cericit burung yang ramai tertimpa deru kota yang tiada berujung, Janari sudah terjaga untuk mempersiapkan semua dagangan.

Rasa kantuk yang terus mencumbu matanya ia tahan-tahan dengan satu gelas kopi sachet yang ia beli di warung kelontong dekat kontrakannya. Istri dan dan bayinya masih terlelap dari lelahnya hidup yang tidak berujung.

Dimas si sulung juga sudah terbiasa terjaga sejak pagi untuk berangkat bekerja. Ia menjadi pekerja di rumah makan kecil milik tetangganya.

Seharusnya ia duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama. Namun, karena keterbatasan biaya ia terpaksa bekerja untuk membantu orang tuanya. Hal serupa yang selalu terjadi pada anak-anak orang miskin, termasuk juga sepupunya.

Pernah sekali sepupunya bercerita kepadannya, bagaimana bersedihnya ia ketika memandang iri teman-teman sebayanya yang pergi ke sekolah, sedangkan ia terpaksa menikah muda karena dipaksa oleh kedua orang tuanya.

Keharusannya bagi seorang perempuan miskin yang tidak bersekolah adalah menikah. Dengan begitu, anak bisa meringankan beban orang tua karena tidak harus menjadi tanggungan lagi, begitulah orang tuanya sering mengatakannya.

Perempuan tidak seharusnya sekolah karena pada akhirnya mereka hanya akan bekerja di dapur dan menggendong bayi. Tidak perlu sekolah tinggi-tinggi untuk belajar tugas itu karena dengan kebiasaan akan bisa sendiri.

Begitu paman dan bibinya selalu mengatakan setiap kali sepupunya merengek ingin pergi ke sekolah dengan teman-temannya.

“Ketika teman-temanku berangkat sekolah menenteng buku dan tas, aku berangkat ke posyandu menggendong bayi.” Begitu ungkapnya suatu ketika.

Lihat juga...