Ia menutup diri di dalam kontrakan, semua lampu ia matikan. Ia tidak berani keluar, bahkan untuk membuka pintu ia benar-benar ketakutan. Para penagih utang mengira Dimas juga kabur mengikuti orang tuanya.
Lambat laun mereka berhenti berteriak dan menggedor pintu kontrakan. Sedangkan pemilik kontrakan tidak mau peduli.
Sudah seminggu Dimas tidak masuk kerja, membuat pemilik toko marah-marah karena ada banyak pekerjaan yang terbengkalai dan harus ia lakukan sendiri.
Di antara semua orang egois yang tidak punya rasa empati sedikitpun, tidak ada yang peduli apa yang terjadi pada Dimas. Meski orang-orang tahu apa yang menimpanya, semuanya seolah tak ada.
Janari yang mulai dingin kepalanya mencoba memberanikan diri untuk melanjutkan hidup. Sepedih apa pun luka yang ia rasakan, ia masih punya Dimas dan bayinya. Maka, ia berjanji akan melanjutkan hidup demi anak-anaknya.
Meski darahnya terasa mendidih saat ingat istrinya, namun kedua anaknya adalah buah cintanya. Tidak ada alasan untuk mengabaikan mereka.
Janari kembali ke kontrakan dengan semua luka yang ia dekap. Ia menyerahkan semuanya pada waktu, karena waktu adalah obat paling mujarab dalam menyembuhkan luka.
Meski ia tak mau lagi menginjakkan kaki di kontrakan penuh bencana itu. Namun, ia harus memberanikan diri untuk yang terakhir kalinya demi menjemput Dimas anaknya. Ia mencoba tegar meski jiwanya terluka, ia mencoba tersenyum meski hatinya menangis.
Saat pintu diketuk, semua sepi, lampu mati dan kontrakan kumuh itu seperti tidak berpenghuni. Janari membuka pintu kontrakan, dilihatnya tubuh Dimas telah tergantung dengan kain. Ia menjerit dan berharap Tuhan juga segera mencabut nyawanya. ***