Catatan Harian Abdul Rohman Sukardi – 23/04/2025
Sudah berminggu-minggu, polemik ijazah palsu Presiden ke-7 RI, Joko Widodo (Jokowi), mencuat lagi. Sebelumnya sudah bertahun-tahun. Bahkan melalui proses hukum. Penudingnya tidak kunjung bisa memenangkan tudingan itu.
Kita bisa mencermati kasus itu dalam dua perspektif. Hukum dan politik.
Secara hukum, Joko Widodo memperoleh legitimasi UGM (Universitas Gajah Mada). Perguruan tinggi tempat ia kuliah. Ialah pihak yang berhak menyatakan kelulusan seseorang dan mengeluarkan ijazah. UGM menyatakan Jokowi pernah kuliah di UGM dan lulus.
Esensi ijazah adalah surat keterangan lulus. Kelengkapan administratif belaka dari status kelulusan. Hilang atau rusaknya ijazah, tidak bisa menggugurkan kelulusan itu. Selembar surat keterangan lulus bisa diganti kapan saja. Oleh yang berkewenangan mengeluarkan ijazah. Segala macam kejanggalan dan kecacatan atas selembar ijazah itu tidak bisa menggugurkan esensi keputusan kelulusan.
Pernyataan UGM atas kelulusan menggugurkan beban pembuktian pada diri Jokowi. Ia tidak bisa dipaksa membuktikan kepada siapapun. Bahwa ia punya ijazah bukti kelulusan. Ijasah ia tentu tidak palsu. Karena sudah dinyatakan lulus. Oleh UGM.
Tidak percaya ijazah Jokowi sama artinya tidak percaya UGM. Tidak percaya keputusan institusi yang memiliki legal standing menyatakan Jokowi lulus. Jalan keluarnya melalui proses pengadilan. UGM bisa digugat di pengadilan. Oleh pihak-pihak yang tidak percaya.
Itu secara hukum. Bagaimana secara politik?
Kita bisa mencermati dari dampak politis mencuatnya isu itu.
Pertama, pembunuhan karakter. Agar presiden ke-7 Jokowi tidak lagi mampu cawe-cawe politik. Ia memang sudah tidak lagi menjabat. Akan tetapi masih memiliki trust di kalangan masyarakat. Mampu menggerakkan massa politik. Melalui pembunuhan karakter itu kemampuannya cawe-cawe hendak dimatikan.