Transisi dan Celah Lemah Oposisi

Oleh: Abdul Rohman Sukardi

 

 

Transisi rezim Jokowi – Prabowo diwarnai pergeseran-pergesaran gelombang aksi. Baik secara isu maupun target-target gerakan. Mudah ditebak: targetnya “atur posisi politik”. Bukan gerakan perubahan.

Belum lama berselang hari-hari kita disajikan protes “Mahkamah Keluarga”. Berlanjut pada isu Angket DPR. Target ambisiusnya: menganulir keterpilihan Prabowo-Gibran. DPR dihadap-hadakan dengan presiden maupun capres-cawapres terpilih.

Gerakan ini tidak bisa menghentikan MK memutus “tidak ada kecacatan” pemilu 2024. Prabowo Gibran sah terpilih sebagai presiden-wakil presiden 2024-2029. Isu angket DPR menguap tanpa ada kejelasan. Tidak ada cacat konstitusional terpilihnya Prabowo-Gibran.

Pendulum bergeser pertengkaran pilkada. Kemarahan publik dihadapkan pada pragmatisme parpol. Agar parpol memberi tiket figur-figur tertentu menjadi cakada.

Realitasnya kubu pemenang pilpres sangat digdaya. Tampak akan menyapu hampir semua wilayah untuk dimenangkan. Menyisakan sedikit saja untuk oposisi.

Puncak pertengkaran pada fase ini: publik dihadapkan untuk menekan DPR. Agar tidak membatalkan putusan MK. Ketika ambang batas pencalonan cakada dibuat lebih ringan oleh putusan MK.

Gelombang demonstrasi mahasiswa mengepung gedung DPR. Gerakan mahasiswa menemukan momentum meneriakkan kembali idealismenya.

DPR mengikuti keinginan pengunjuk rasa. Putusan MK tidak dianulir dengan membuat aturan baru. Keberhasilan oposisi ini tetap tidak bisa menganulir potensi kemenangan besar kubu pemenang pilpres pada pilkada 2024.

Pendulum oposisi kemudian bergeser lagi. Skenarionya menghadapkan-hadapkan Prabowo dengan Jokowi. Mulai dengan menghidupkan kasus-kasus lama. Seperti  isu “mahkamah keluarga”, skenario perpanjangan jabatan atau penambahan periode jabatan presiden.  Terakhir mencuat kasus jet pribadi hingga akun fufu fafa.

Lihat juga...