Catatan Harian Abdul Rohman Sukardi – 04/04/2025
Beredar foto “groufie” putra-putri dan sejumlah cucu mantan Presiden RI. Usai perayaan ulang tahun Didit Hadiprasetyo. Putra Presiden Prabowo, sekaligus cucu Presiden Soeharto.
Foto itu viral. Disertai framming suasana menyejukkan relasi antar dinasti kekuasaan di Indonesia. Selama ini pola relasi antar keluarga dinasti dikesankan hangat. Bahkan memanas. Walaupun silaturahmi momen-momen keluarga seperti dalam foto itu bukan peristiwa baru.
Ulang Tahun Mbak Titiek, Ibunya Didit, sudah sering melakukannya. Mengundang keluarga-keluarga dinasti politik ketika menggelar ulang tahun.
Beredarnya foto itu terasa Istimewa. Dianggap dan dirasakan sebagai antiklimaks benturan keluarga dinasti presiden selama ini. Era kepemimpinan Presiden SBY, benturan dengan keluarga Presiden Megawati dikesankan sangat menghangat.
Era kepemimpinan Presiden Jokowi, benturan antara keluarga Presiden Soeharto dan Presiden Soekarno di framming memanas. Usai Presiden Prabowo terpilih, framing benturan antara keluarga Presiden Joko Widodo dan Presiden Megawati juga menguat.
Momen perayaan ulang tahun Didit dijadikan sebagai triger membawa ketegangan itu antiklimaks. Keluarga Presiden telah bersatu. Tidak ada benturan lagi. Rakyat jangan bertengkar lagi. Begitu kira-kira pesan framming dari foto “groufie” itu.
Sejarah Indonesia banyak diwarnai kisah benturan antar dinasti berkuasa. Bukan kisah perjuangan membangun kebesaran sebuah bangsa. Rakyat kecil rela dibuat menderita oleh benturan ambisi dinasti-dinasti itu.
Kita ambil saja contoh Paregreg. Konflik antar anggota dinasti berkuasa Majapahit itu telah membuat menderita rakyat Nusantara dalam skala kolosal. Jangka panjang. Ketika kolonialisme Eropa masuk, Nusantara tidak lagi berdaya menghadapinya. Suprastruktur kekuasannya rapuh dari dalam.