Catatan Harian Abdul Rohman Sukardi – 09/04/2025
Ia cukup di-framming sebagai desainer internasional. Profesinya memang itu. Jauh dari peran pergulatan dunia politik maupun birokrasi pemerintahan. Termasuk juga bukan konsultan kebijakan strategis.
Pekerjaan sampingannya, mungkin kini menjadi pekerjaan utama, ialah mendampingi ayahandanya bertugas. Presiden RI. Menyediakan segelas air putih ketika ayahandanya kelihatah kehausan. Mengingatkan untuk istirahat jika ayahandanya tampak kelelahan. Mendampingi menerima tamu-tamu negara. Tamu ayahandanya.
Ia memiliki cukup bekal untuk peran itu. Peran mendampingi menerima tamu elit. Dalam komunikasi, Didit ditempa di Barat. Ia familiar dengan bahasa internasional. Tidak ada kecanggungan berkomunikasi dengan tokoh elit mancanegara manapun. Entah kalau bahasa arab.
Secara konten komunikasi, pejabat elit umumnya suka tema-tema seputar art. Seni. Sebagai sarana komunikasi basa-basi dan mengakrabkan diri para kaum elit. Sebagai desainer internasional, Didit tentu tidak asing dengan tema itu. Bahkan menjadi passion-nya. Soal isu kenegaraan tentu ada menteri teknis. Bukan domain untuk dibahas lama-lama pada level pejabat puncak sekaliber presiden.
Peran Didit, tampak cukup sampai di situ. Pendamping ayahanda bertugas. Seperti Yenny Wahid mendampingi Gus Dur. Atau seperti Mbak Tutut mendampingi Presiden Soeharto usai first lady Ibu Tien wafat.
Tapi mari kita lihat problematika yang dihadapi Presiden Prabowo. Setidaknya perspektif perpendaharaan spiritual kepemimpinan Jawa.
Pertama, kepemimpinan akan rapuh manakala tidak didampingi permaisuri. Ketika tidak ditopang first lady. Pemimpin dan permaisuri ibarat Yin dan Yang dalam konsep filosofi Tionghoa. Suatu konsep kekuatan saling berhubungan satu sama lain. Ketika salah satunya tidak ada, rawan “komplang”. Gejolak.