Pengulangan itu akan semakin kencang saat dia kesal dan bosan melihat usaha jamur merang rugi.
Ipung kawan sekantor Faruk dulu. Karirnya melesat cepat. Bahkan kini dia punya perusahaan sendiri tanpa melepaskan profesi lamanya.
Perempuan itu bilang seharusnya Faruk bisa sabar dan rajin seperti Ipung. Mengambil hati pimpinan seraya menjalin hubungan baik dengan pejabat.
“Seharusnya bisa kalau kamu dulu mengikuti saranku datang ke dukun atau kiai minta jimat pengasihan supaya disayang pimpinan dan dicintai pejabat,” timpal perempuan itu. Kesimpulan yang membuat Faruk benci sekaligus takjub.
Sulit sekali bagi Faruk menghubungkan kesuksesan seseorang dengan jampi-jampi dari dukun atau kiai. Mengaitkan keberhasilan ekonomi dengan rajin sembahyang. Menemukan sebab akibat kesialan dengan kemarahan Tuhan.
Memaksa terus pura-pura mempercayainya serupa lelucon yang sama sekali tidak lucu, dan itu akan lebih buruk dari kena serangan gatal-gatal di selangkangan. Istrinya muak sekali ketika Faruk mengungkapkan hal itu.
Selama bekerja sebagai wartawan hampir lima tahun, karir Faruk jalan di tempat, bahkan lebih mengenaskan dari itu. Dia tak bisa menulis mengikuti keinginan pimpinan. Banyak laporannya yang tak ditayangkan.
Dia juga tak mahir menjalin hubungan yang menyenangkan dengan pejabat. Itu semua karena dia tak berbakat untuk berpura-pura, apalagi bekerja sama dengan mereka.
Dia tak mampu melakukan apa yang Ipung lakukan yang disenangi pimpinan. Kawannya itu sangat lihai memanfaatkan profesi untuk mengambil hati pejabat, yang mengantarkan Ipung menemukan banyak sumber keuangan.
Dia telaten keluar masuk tempat-tempat hiburan, nongkrong di panti-panti pijat untuk memergoki pejabat yang datang ke sana. Dari sanalah kran uang mengucur deras.