Mungkinkah Muslim Miskin dan Non Muslim Konglomerat, Bersatu dalam Ekonomi?

Thowaf Zuharon. Foto: Dokumentasi CDN

Padahal, jika dikelola dengan baik, perkembangan UMKM dan ekonomi syariah menjanjikan pencerahaan ekonomi yang etis dan normatif, membina persaudaraan, menegakkan keadilan universal, distribusi pendapatan yang seimbang dan berkomitmen tinggi terhadap persaudaraan manusia dan keadilan, dan mewujudkan kebebasan dalam konteks kesejahteraan sosial.

Data di lapangan menunjukkan, Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) yang relatif lebih tahan terhadap krisis ekonomi dan mampu menyerap tenaga kerja hampir 97 % dari total pekerja di Indonesia masih menghadapi berbagai permasalahan klasik. Akses usaha mikro dan kecil terhadap lembaga keuangan masih rendah. Tapi, baru 30% UMKM yang mampu mengakses pembiayaan. Dari persentase tersebut, sebanyak 76,1% mendapatkan kredit dari bank dan 23,9% mengakses dari non bank, termasuk usaha simpan pinjam seperti koperasi. Dengan kata lain, sekitar 60%-70% dari seluruh sektor UMKM belum mempunyai akses pembiayaan melalui perbankan (Bank Indonesia, 2015).

Di sisi lain, pada sektor keuangan syariah, selama lima tahun terakhir, pertumbuhan perbankan syariah mengalami perlambatan. Pangsa perbankan syariah belum beranjak dari angka lima persen. Padahal, 87 % penduduk Indonesia adalah muslim dan menjadi negara dengan jumlah muslim terbesar di dunia. Predikat negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia belum diikuti dengan peran ekonomi umat Islam yang besar.

Dalam program pemberdayaan ekonomi, sebenarnya, pemerintah telah memberikan paket kebijakan ekonomi sampai jilid XIV yang  memberikan kemudahan berusaha. Namun, barangkali, pemerintah perlu lebih memberikan asupan gizi akan peran koperasi dan UMKM dalam postur ekonomi nasional, serta mendorong tumbuh kembangnya Koperasi dan UKM di tanah air. Sektor usaha ini dianggap sebagai satu solusi untuk mengatasi kesenjangan ekonomi masyarakat.

Lihat juga...