Mungkinkah Muslim Miskin dan Non Muslim Konglomerat, Bersatu dalam Ekonomi?

Thowaf Zuharon. Foto: Dokumentasi CDN

Lebih berbahaya lagi, kepemilikan modal terhadap beberapa sektor penting dan menjadi hajat hidup orang banyak, masih saja dikuasai pihak tertentu. Sementara, sistem perundangan di Indonesia masih membuka seluas-luasnya pada partisipasi asing dalam ekonomi, tanpa ada kendali. Bahkan, penguasaan aset-aset ekonomi oleh asing terus membesar.

Bila ditelisik bersama saat ini, di Indonesia, ada empat orang konglomerat Indonesia yang jumlah akumulasi kekayaannya setara dengan jumlah akumulasi kekayaan 100 juta orang Indonesia. Jika menilik data kesenjangan ekonomi negara-negara di dunia, pada 2017 ini, Indonesia adalah juara nomor 4 se-dunia sebagai negara paling senjang dalam pemerataan ekonomi. Pada 2017, ada data menyebut, 10% populasi manusia Indonesia menguasai 77% kekayaan nasional. Hal ini tidak hanya potensial memicu munculnya konflik ekonomi, melainkan bisa memicu perpecahan segala sendi kehidupan berbangsa.

Akibat kesenjangan tersebut, tingkat rasio gini Indonesia masih sangat tinggi. Pada September 2017, Badan Pusat Statistik menyatakan, tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk Indonesia yang diukur oleh Gini Ratio adalah sebesar 0,391. Angka tersebut menunjukkan ketidakberdayaan negara dalam memangkas kesenjangan sosial. Pertumbuhan ekonomi justru condong ‎lebih memberikan manfaat kepada kelompok menengah ke atas.

Kesenjangan sosial ini telah menjadi entitas dari rapuhnya ekonomi umat. Apalagi, pada masa reformasi ini, kekuatan ekonomi umat Islam justru semakin lemah, hingga tidak mampu lagi menguasai pusat-pusat perdagangan. Saat ini, boleh dikatakan, Indonesia sudah berada pada titik darurat ketimpangan. Padahal, dari data kependudukan yang ada, umat Islam Indonesia jumlahnya 87 persen dari total penduduk Indonesia. Tapi, angka populasi 87% ini hanya mempunyai 12 persen dari total pertumbuhan ekonomi Indonesia. Umat Muslim Indonesia yang mayoritas dalam jumlah, ternyata hanya menguasai 12 persen ekonomi. Hal itu terjadi, karena umat muslim masih menganggap urusan ekonomi dan bisnis bukan yang utama. Akibatnya, Umat Islam mengalami ketertinggalan di bidang ekonomi dibanding umat agama lain.

Lihat juga...