Mungkinkah Muslim Miskin dan Non Muslim Konglomerat, Bersatu dalam Ekonomi?
Satu indikator dalam bidang ekonomi tentang keterpurukan umat Islam, yaitu data tentang kepemilikan aset nasional. Penguasaan aset nasional umat muslim, sebagian besar didapatkan, bukan hasil pembelian, melainkan hanya karena pemberian negara. Sementara, ada satu persen rakyat Indonesia yang menguasai 50 persen aset nasional. Sudah menjadi rahasia umum, di antara satu persen itu, mayoritas bukanlah warga negara Indonesia yang beragama Islam.
Di sisi lain, penguasaan umat muslim atas sumber daya alam masih sangat lemah. Hal ini diakibatkan dari tingkat pendidikan dan penguasaan IPTEK umat muslim yang rendah. Pada gilirannya, ini membuat inovasi dan entrepreneurship umat muslim juga rendah. Faktor lainnya, keberpihakan regulasi pemerintah dan kekuatan modal global kurang berpihak kepada rakyat kecil. Faktanya bisa dilihat pada kurangnya akses umat muslim–yang mayoritas memiliki taraf ekonomi menengah ke bawah–kepada sumber dana di perbankan, teknologi, infrastruktur, informasi pembangunan, serta bisnis usaha. Sayangnya, sebagian besar kalangan pengusaha muslim tak mampu menjadi bagian dari dari solusi (problem solving), melainkan malah menjadi bagian dari masalah (part problem).
Pentingnya Penguatan UMKM
Kesenjangan antara pelaku usaha di Indonesia pun masih terlalu besar. Pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) yang merupakan mayoritas, hanya menguasai aset yang begitu kecil. Sektor UMKM hanya memperoleh porsi di bawah 20% dari nilai ekonomi nasional. Sebaliknya, para pengusaha besar yang minoritas, justru menguasai hampir seluruh aset swasta nasional. Sehingga, sangat diperlukan penataaan kembali atau redistribusi aset untuk memperkecil kesenjangan ini. Disinilah perlu adanya koperasi dan UKM incorporated (harus ditangani bersama dalam satu koordinasi), agar hasilnya bisa maksimal. Apalagi, pada era sekarang ini, pelaku usaha dituntut harus lari ke pasar secara digital.