OLEH EKO ISMADI
BELUM lama ini, kehidupan kebangsaan Indonesia heboh, ketika Mahkamah Konstitusi membuat keputusan pengakuan aliran kepercayaan sebagai agama, beberapa waktu lalu. Dalam putusannya, Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi telah berpendapat, kata “agama” dalam Pasal 61 Ayat (1) dan Pasal 64 Ayat (1) bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak termasuk penganut aliran kepercayaan. Artinya, penganut aliran kepercayaan memiliki kedudukan hukum yang sama dengan pemeluk enam agama yang telah diakui pemerintah dalam memperoleh hak terkait administrasi kependudukan.
Majelis Hakim telanjur mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya. Kedua, menyatakan kata ‘agama’ dalam Pasal 61 Ayat (1) dan Pasal 64 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak termasuk aliran kepercayaan
Di sisi lain, pada 15 November 2017 lalu, Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Ma’ruf Amin bersama Organisasi Masyarakat (Ormas) Islam tingkat pusat menyatakan sikap menolak putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait penghayat aliran kepercayaan di Undang-Undang Administrasi Kependudukan. Putusan MK memang sudah bersifat final, tapi MUI memilih menolak putusan tersebut, karena mempunyai dampak dan implikasi yang fundamental terhadap tatanan kehidupan beragama.
Sebenarnya, dalam amatan saya, polemik semacam ini sudah berlangsung semenjak Orde Baru, di masa pemerintahan Soeharto. Namun, saat itu, karena adanya pemikiran yang jernih terhadap keimanan pada masa itu, membuat Soeharto perlu berpikir ulang untuk menentukan aliran kepercayaan diakui sebagai agama.