Indonesia Beruntung Masih Punya Kedaulatan Tanah di Yogyakarta
Oleh Eko Ismadi
Dalam kurun awal 2018 ini, seorang penduduk Yogyakarta berusia 60-an tahun, bernama Siput Lokasari, berupaya menghubungi Sultan Hamengkubuwono X untuk menanyakan tentang hak kepemilikan tanah di kota kelahirannya yang ia anggap diskriminatif. Ia meminta Sultan sebagai Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta membatalkan Surat Instruksi Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang dikeluarkan pada 1975 lalu, berisi larangan warga non pribumi memiliki tanah di Yogyakarta. Siput menuduh peraturan tersebut sebagai diskriminasi ras.
Tuduhan tersebut bermula, ketika tanah yang dibeli istri Siput di Kulon Progo seluas 1.000 m2, pada enam bulan lalu, tak akan pernah bisa diubah menjadi hak milik atas namanya. Karena, alasannya, menurut pejabat Badan Pertanahan Nasional setempat, Istri siput Lokasari adalah orang Cina.
Dalam kasus yang lain, seorang warga keturunan Cina bernama Handoko menggugat Instruksi Wakil Kepala Daerah DIY No. K.898/I/A/1975 tanggal 5 Maret 1975 tentang Penyeragaman Policy Pemberian Hak Atas Tanah kepada Seorang WNI Nonpribumi, yang dianggapnya diskriminatif. Gugatan Handoko lalu digagalkan oleh hakim PN Yogyakarta pada 20 Februari 2018. Ketika gugatan Handoko gagal, ia melakukan banding dan telah didaftarkan pada Rabu, 28 Februari 2018, teregistrasi di Pengadilan Tinggi Yogyakarta dengan nomor 132/Pdt. G/2017/PN.Yyk.
Menurut penulis, Handoko dan Siput Lokasari perlu membaca sejarah panjang Yogyakarta dari zaman Belanda yang menyebabkan Sultan Hamengku Buwono IX kala itu menerbitkan Surat Instruksi Wakil Gubernur DIY tentang Larangan Kepemilikan Hak atas Tanah bagi Warga Nonpribumi. Berdasarkan R Rijksblaad Kasultanan 1918 Nomor 16 jo. Risjkblaad 1915 Nomor 23, dilakukan reorganisasi dengan tujuan memberikan hak atas tanah kepada rakyat biasa dengan hak-hak yang kuat. Tanah sultan ground dibagi dua, yaitu Tanah Mahkota dan Sultanaad Ground.
Selain itu, milik Kadipaten Pakulaman, mengatur hal yang sama. Sejarah panjang itu diperkuat dengan adanya UUD 1945 Pasal 18 b ayat 1 dan 2 tentang daerah khusus dan istimewa serta masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya hingga lahirlah UU Keistimewaan DIY. Pasal 18 b UUD 45 mengakui asal-usul hukum adat yang berlaku dan UU No 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan DIY.
Artinya, kewenangan otonomi demi untuk menyejahterakan masyarakat supaya tidak ada ketimpangan, dan didasarkan sejarah, maka tidak salah kepala daerah melestarikan ketentuan hukum adat di Yogyakarta. Peraturan tersebut tidak hanya terbatas pada golongan Tionghoa, melainkan juga warga non pribumi lainnya. Sebab, di dalam peraturan tersebut hanya menyebutkan non pribumi.
Tidak lama setelah kemerdekaan, rakyat pribumi berjuang mempertahankan kemerdekaan RI dari serangan Agresi Militer Belanda II pada Desember 1948. Namun, saat itu, begitu banyak etnis Cina lebih memilih membantu pasukan Belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia. Saat itu, bantuan etnis Cina kepada Belanda berupa material uang dan berbagai sarana lainnya. Sultan IX sendiri melihat dengan sangat kentara, etnis Cina yang ada di Yogyakarta justru berpihak dan memberikan sokongan ke Belanda.
Melihat pengkhianatan Etnis Cina saat itu, Sultan Hamengkubuwono IX langsung mencabut hak kepemilikan tanah terhadap etnis Tionghoa di Yogyakarta. Tahun 1950, ketika NKRI kembali tegak dan berhasil dipertahankan dengan keringat dan darah, Pemerintahan Soekarno-Hatta telah meminta etnis Cina segera eksodus dari Yogyakarta dan Indonesia. Dua proklamator kemerdekaan RI tersebut tidak bisa memaafkan etnis Cina yang melakukan pengkhianatan.
Untung saja, yang memimpin Yogyakarta dan menjadi Menteri Pertahanan di Indonesia adalah Sultan HB IX yang masih berbaik hati. Saat itu, Etnis Cina tidak diusir dari Yogyakarta dan masih diperkenankan tinggal, namun hanya diperkenankan sebagai tetangga. Karena, bagaimanapun, Etnis Cina telanjur berkhianat.
“Tinggallah di Jogja. Tapi, maaf, saya cabut satu hak anda, yaitu hak untuk memiliki tanah,” tegas Sultan HB IX.
Menurut kesaksian Kanjeng Gusti Pangeran Haryo Hadiwinoto, Sultan IX pernah berucap, ”Kowe kuwi nggawe susah lan loro ati aku lan rakyat Yogyakarta, ugo kabeh bangsa Indonesia. Kowe wis berkhianat !! Mula kuwi Kowe keturunan China, oleh manggon neng Tanah Ngayogyakarta nanging orah oleh duwe hak milik tanah. (Kamu itu telah membuat susah kepada Saya dan rakyat Jogyakarta serta Bangsa Indonesia. Kamu telah berkhianat! Maka dari itu kamu boleh tinggal di Jogyakarta, tapi tidak boleh memiliki Hak milik tanah di Jogyakarta).”
Inilah fakta sejarah kenapa Keturunan China di Yogyakarta tidak boleh memiliki sertifikat SHM, hanya HGB saja. Keputusan Sultan HB IX tersebut berlaku tetap hingga kapan pun. Kebijakan agar etnis Cina tidak memiliki hak atas kepemilikan tanah di Yogyakarta diperkuat lagi pada 1975. Yaitu saat Paku Alam VIII menerbitkan surat instruksi kepada bupati dan wali kota untuk tidak memberikan surat hak milik tanah di Yogyakarta kepada warga negara non pribumi. Surat tersebut masih berlaku hingga saat ini.
Surat instruksi tersebut mengizinkan warga keturunan memiliki tanah dengan status hak guna bangunan (HGB), bukan hak milik (SHM). Bila tanah tersebut sebelumnya dimiliki pribumi, lalu dibeli warga keturunan, maka dalam jangka tahun pemakaian tertentu, tanah itu status kepemilikannya dialihkan kepada negara.
Menurut penulis pribadi, sikap perilaku keturunan Cina di Yogyakarta sejak Zaman VOC, kehidupannya mirip bunglon. Pintar menyesuaikan diri dan mengubah perilaku agar dapat posisi yang menguntungkan.
Pada masa pemerintahan Belanda, etnis Cina bekerjasama dengan Belanda. Ketika datang penjajah Jepang, etnis Cina bekerjasama dengan Jepang. Begitu Indonesia memproklamasikan diri, pura-pura ikut terlibat, walaupun hanya perorangan, namun secara kelompok tidak terlihat. Kemudian, ketika Belanda datang menyerang bangsa Indonesia pada tahun 1949, kembali keturunan Cina membantu Belanda. Pendapat penulis pribadi, perilaku Handoko yang disebut sebagai oknum oleh ketua kelompok paguyuban keturunan China di Yogyakarta, merupakan anasir yang mencerminkan sikap keturunan China di indonesia.
Dalam catatan sejarah sejak Indonesia merdeka, penulis mengamati, ada siklus 16 tahunan, persoalan rasial Cina meletup. Pertama pada tahun 1950, ketika Keturunan Cina di Yogyakarta bermasalah dengan para pejuang bangsa Indonesia di Yogyakarta. Kedua, yaitu pada tahun 1966, ketika keturunan China bekerja sama dengan PKI dan orang China daratan, berusaha untuk mengubah Pancasila dalam Gerakan Pengkhiatan G30S/PKI tahun 1965.
Peristiwa ketiga, yaitu tahun 1982, ketika muncul kerusuhan di Solo, sebelumnya ada keturunan China yang berani membunuh tukang becak putra pribumi asli dari Solo. Peristiwa keempat, yaitu tahun 1998, ketika etnis Cina diincar dalam gerakan reformasi. Sedangkan peristiwa kelima, yaitu tahun 2014, ketikaAhok menjadi Pejabat Sementara Gubernur DKI yang selalu membuat gaduh dan memunculkan huru hara yang sangat besar pada 2016.
Amandemen UUD 1945 dan Dampak kepada Daerah Istimewa Yogyakarta
Dalam aturan tanah di Yogyakarta ini, kalangan investor dan beberapa etnis Cina sudah beberapa kali menggugat aturan itu dan mengadukan hal itu kepadaPresiden Indonesia. Aturan tersebut dianggap rasis dan tidak adil. Para penggugat itu telah menyuruh dan mendanai berbagai gerakan Hak Asasi Manusia (HAM) dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Namun, Mahkamah Agung tetap tidak mengabulkan, karena hal itu bagian dari keistimewaan DIY.
Tuntutan yang terbaru pada 2018 ini, Sultan HB X dituntut oleh keturunan Cina bernama Handoko, didasarkan pada ”Inpres Nomor 26 Tahun 1998 tentang penghentian penggunaan istilah Pribumi dan Non Pribumi Tahun 1998, serta Amandement UUD 1945 yang keempat.”
Dampak lain dari Amandemen UUD 1945, mayoritas tidak lagi ditentukan oleh peranan sejarah dan jumlah orang, melainkan mayoritas ditentukan oleh pelaku ekonomi dan pemilik modal. Ini adalah sebuah perbuatan keji dan jahat dari isi amandemen UUD 1945. Hal ini dapat disebut sebagai upaya untuk merebut kekuasaan di Indonesia secara sistematis melalui perubahan peraturan.
Dalam pengamatan penulis pribadi, ada upaya membenarkan pendapat keturunan China di Indonesia. Penulis melihat sendiri, ada seorang pendeta keturunan Cina yang berkhotbah di gereja dengan menyebutkan, keturunan Chinalah yang bisa membuat Indonesia maju. ”Indonesia itu milik mahluk Tuhan di Bumi, bukan hanya milik Indonesia saja. Jadi, kami pun boleh mengelolanya juga.” Padahal, bagi penulis, yang perlu dirawat dari Yogyakarta adalah sejarahnya, budayanya, simbol pemerintahan serta wilayah Istimewanya.
Untungnya, kedaulatan tanah di Yogyakarta menjadi sangat kukuh dengan sikap Sultan HB IX saat itu. Kedaulatan Tanah di Yogyakarta tak bisa dibeli dengan uang. Tekad semangat perjuangan rakyat Yogyakarta melawan penjajah Belanda yang membuat Agresi Militer dengan biaya dari Etnis Cina, sama sekali tak bisa tergantikan sama sekali dengan harta benda. Di tengah carut marut suasana peradilan Indonesia, pengadilan Yogyakarta justru mampumenunjukkan eksistensi kedaulatan hukum terhadap bangsa dan negara Indonesia, sebagai pribumi yang bertanggung jawab.
Selain itu, pemahaman sejarah secara turun temurun oleh Trah Yogyakarta, patut untuk dihargai. Tanpa ada Yogyakarta, kita tak bisa menunjukkan akibat dari carut marutnya reformasi yang telah membuat modal asing mencaplok kedaulatan ekonomi dan menghabisi kedaulatan wilayah Indonesia. Bagi penulis, reformasi yang kebablasan hanya sebuah tipuan untuk mencelakakan bangsa Indonesia. Banyak orang mengaku bagian dari Jaman Now, tetapi cara berpolitiknya meniru kekacauan langkah politik pada tahun 1965.
Sampai kapan pun, penulis berharap, Yogyakarta harus tetap Istimewa. Sebab, ternyata, Yogyakarta justru menjadi kekuatan Nasionalisme Indonesia. Saat itu,Sultan HB IX juga berpartisipasi dalam perjuangan bangsa Indonesia, bersedia membantu pemberian Gaji kepada pegawai Pemerintahan Indonesia, ketika Indonesia beribukota di Yogyakarta. Bagaimanapun, selama ini, Yogyakarta dapat dijadikan sembagai simbol dan kekuatan spiritual.
Dengan kejadian ini, kita berharap, keturunan China di indonesia segera sadar dan memahami sejarah nasionalisme Indonesia dengan benar. Agar tidak menimbulkan permasalahan dan kegaduhan kehidupan sosial yang kemudian mengganggu stabilitas kemanan yang sudah baik dan mantap.
Perkembangangan reformasi yang sudah carut marut ini harus dibatasi dan kembali diarahkan, sesuai dengan kehidupan kebangsaan Indonesia. Jika kondisi semakin parah, maka yang rugi dan menderita adalah keturunan China sendiri, baik yang di Yogyakarta maupun di seluruh wilayah Indonesia.
Penulis mengajak seluruh Indonesia agar segera mengkaji ulang atas Amandemen UUD 1945 yang justru mengancam kedaulatan Indonesia. Ingat, di belahan bumi mana pun, pribumi akan tetap ada, tidak bisa dihilangkan. Para pribumi akan tetap mempertahankan harga diri, kedaulatan, dan hajat hidupnya.
Apakah Bangsa Indonesia mau seperti Singapura yang pribuminya sudah kehilangan kedaulatannya secara menyeluruh? Apakah indonesia mau bernasib seperti Singapura? Sebab, saat ini, pribumi Indonesia sudah paham dan cerdas, bagaimana menghadapi perselisihan dengan etnis China.
Pribumi Indonesia sudah belajar menghadapi perilaku etnis Cina sejak jaman Majapahit, jaman penjajahan Belanda, jaman Penjajahan Jepang, hingga jaman merdeka sekarang ini. Sampai kapan pun, NKRI Harga Mati dan Indonesia akan semakin kuat dengan Pribumi!
*Eko Ismadi adalah Pengamat Sosial Politik dan Militer