Prabowo dan Wiranto di Tengah Kemelut Suksesi Reformasi

Eko Ismadi-Foto: Dokumen CDN.

JAKARTA — Jika hendak ditelisik, tidak ada yang benar-benar mengaku menjadi dalang utama dari reformasi 1998 yang telah membuat Presiden Soeharto turun dari jabatannya. Ada yang beranggapan, berbagai gerakan reformasi diidentikkan dengan pergerakan Amien Rais dan Megawati. Namun, ada juga yang beranggapan sebaliknya. Arbi Sanit malah dengan lantang menyebut, ”Reformasi adalah sistem politik, yang sesungguhnya adalah politik dagang sapi”.

Betapa nyinyir komentar Arbi kepada Reformasi. Padahal, banyak yang masih mengagung-agungkan reformasi. Ketika ada timbul permasalahan, selalu orang menyebut tidak sesuai cita-cita reformasi.

Seakan-akan, konsepsi reformasi adalah pedoman yang suci dan unggul dalam perjuangan pembangunan bangsa Indonesia. Nyatanya, saat ini, reformasi telah menyeret bangsa ini pada situasi kebebasan tanpa batas, serta boleh melakukan proses ideologisasi komunisme yang bertentangan dengan Tap MPR/XXV/1966 dan UU 27/1999 tentang larangan ajaran komunisme. Dalam amatan saya, satu-satunya kelompok di Indonesia yang tidak suka dengan TNI hanyalah PKI.

Saat itu, simbol para demonstran reformasi menggunakan pita putih, namun ternyata, menimbulkan hadirnya anasir kebangkitan dendam anak keturunan PKI. Niat mereka mengembalikan Nasakom, 1 Juni 1945 sebagai Hari lahir Pancasila, serta tuntutan kepada pemerintah indonesia untuk meminta maaf kepada PKI.

Dalam kemelut reformasi tersebut, ada dua Jenderal yang banyak dibincangkan di berbagai media massa, yaitu Wiranto dan Prabowo. Kedua tokoh ini sama-sama Jenderal TNI AD, sama-sama berdarah Solo, Trah Bangsawan Keraton Surakarta, sama-sama disenangi Pak Harto.

Lihat juga...