Ormas Perontok Negara dalam Kacamata Kapolri

OLEH EKO ISMADI

Eko Ismadi. Foto: Dokumentasi CDN

Beberapa waktu lalu, sebagian besar umat Islam Indonesia heboh dengan pernyataan Kapolri Jenderal Tito Karnavian yang sempat menuai kontroversi, terkait ucapannya tentang Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Pada potongan video itu, Tito menegaskan jajarannya untuk membangun hubungan hanya dengan NU dan Muhammadiyah, tidak dengan yang lain. Organisasi lain, kata Tito, bisa merontokkan negara.

Dalam video tersebut, pernyataan Tito seolah mengesampingkan ormas Islam selain Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Tapi, Tito mengatakan, video tersebut tidak utuh sehingga maksud penyampaian pidato itu tidak terangkum sempurna di video yang viral. Dalam klarifikasinya, Tito tidak sedikit pun ada niat untuk tidak membangun hubungan dengan organisasi islam di luar NU dan Muhammadiyah. Tito menyampaikan klarifikasi itu di hadapan pengurus Muhammadiyah, NU, beberapa ormas Islam, serta di hadapan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia KH Ma’ruf Amin.

Secara pribadi, saya terkejut ketika ada pejabat Polri yang menyampaikan tentang pemahaman sejarah atas NU dan Muhammadiyah. Sebab, selama ini, justru banyak pejabat yang alergi membicarakan sejarah maupun agama. Ada sebagian pihak yang sangat nyinyir terhadap sejarah, menyatakan, sejarah itu masa lalu, tidak perlu diingat lagi, belajar sejarah sama saja menoleh ke belakang, hidup ini harus menatap ke depan, dan sejarah itu kolot, bukan now!.

Pernyataan Kapolri ini justru menuai kritik dari umat muslim di luar NU, serta umat Muslim di dalam NU. Sebab, menurut KAPOLRI, hanya Ormas Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah yang layak didukung, karena setia kepada Pancasila. Sedemikian geramnya tokoh Islam hingga menyebutkan, ”Kapolri kurang paham sejarah. Sebenarnya, masih banyak perwira polisi yang tidak tahu sejarah. Kebetulan, KAPOLRI saja yang ketahuan.”

Lihat juga...