Ormas Perontok Negara dalam Kacamata Kapolri

OLEH EKO ISMADI

Eko Ismadi. Foto: Dokumentasi CDN

Bukti pengabdian NU yang keenam, NU juga tidak pernah berniat mengganti Pancasila dengan Piagam Jakarta. Ketujuh, NU tidak pernah mengajarkan kepada umatnya, bahwa Pancasila itu Musyrik. Kedelapan, NU tidak mengajarkan kepada umatnya, bahwa menghormat kepada bendera Merah Putih itu Haram. Kesembilan, NU tidak pernah dicurigai sebagai anggota teroris. Kesepuluh, NU tidak pernah menembaki kantor dan anggota Polisi. Kesebelas, NU tidak pernah membajak pesawa republik Indonesia.

Dengan berbagai data dan fakta sejarah yang baik tentang NU, cukup layak ketika Tito seakan agak menganakemaskan NU. Namun, jika kita menyimak pernyataan Kapolri Jenderal Tito Karnavian, ada dua hal yang harus kita perhatikan seksama. Pertama, dalam Politik Nasakom pada tahun 1965, saya secara pribadi sangat bingung dengan sikap Politik NU pada tahun 1965 tersebut. Di satu sisi, NU dikenal sebagai pendukung Soekarno dan menyetujui Nasakom. Tetapi, anehnya, pada 1965, Kyai, Ulama, dan Santri NU menjadi korban kebiadaban dan kekejaman PKI. Bahkan, kemudian, NU ikut mendukung penumpasan PKI. Hal kedua yang harus diperhatikan, setelah pemerintahan hasil Pilpres 2014, sebagaimana sebelum 1965, NU kembali bersikap ”POLITIK BERDIRI DI DUA KAKI”.

Ketika saya sempat bertemu K.H. Hasyim Muzadi, saya bertanya kepada beliau, ”Gus …. Kenapa NU kok justru menghadiri peluncuran buku Aku Bangga Jadi Anak PKI yang di tulis Anak PKI?”

”Itu merupakan kebijaksanaan kami dalam membangun NU dan menjaga agar NU tetap Survive dalam berpolitik,” kata Kyai Hasyim, saat itu.

Ketika November 2017 saya bertemu dengan Pimpinan Pondok Pesantren Tebu Ireng KH Salahuddin Wahid, saya juga bertanya,”Gus Solah…. Bagaimana ini, kok ada istilah NU merah Dan NU Hijau.” Saat itu, Gus Solah hanya menjawab dengan berdehem.”

Lihat juga...