“Tutup pintu, kita kembali ke sekertariat sekarang!”
Aku menurut lalu menutup pintu. Ibaruri langsung melesatkan mobil. Sepanjang jalan perkotaan, tidak ada hal yang menarik. Mobil dan motor lalu-lalang dengan lancar.
Orang-orang tertib menggunakan trotoar jalan. Bangunan gedung, pertokoan, dan rumah penduduk menyaksikan dengan bisu semua itu.
“Kalian sudah lewat dari janji semula.” sambut Pak Rudy Kancil, seorang manajer senior di LSM Bakti Buana ketika aku dan Ibaruri memasuki ruang tamu sekertariat.
“Sungguh disesalkan, Pak. Tadi aku terlarut mengenang Tuan dan Nona.” tangkis aku menjawab.
“Bohong dia, Pak! Dia tidak rela berpisah dengan tanah merah yang harum, apalagi sesudah menabur bunga-bunga di atasnya.” kelakar Ibaruri.
Pak Rudy tersenyum, mengisyaratkan untuk duduk, sementara dia menghubungi seseorang via pesan instan. Aku dan Ibaruri saling pandang dan menemukan kesepahaman.
“Ibaruri, Munir. Kalian sudah mendapat kabar terkini dari aplikasi itu?” tanya Pak Rudy, santai.
“Sudah, Pak.” jawabku seerempak dengan Ibaruri.
“Apa yang mau kalian rencanakan?” tanya Pak Rudy mulai agak serius.
“Sementara belum ada, Pak.” Ada keraguan dalam suaraku, kali ini Ibaruri terdiam.
Pak Rudy diam, tampak berpikir. Dia tersenyum tipis saat seorang gadis berusia tanggung datang dengan senampan yang mengalasi tiga cangkir kopi hitam yang asapnya masih mengepul. Teliti dan berhati-hati gadis itu menata cangkir di atas meja.
“Terima kasih, Irma.”
Gadis itu tidak menjawab, hanya mengangguk, dan beranjak ke belakang.
“Isu HAM terkini semakin mencemaskan. Negara tidak mau mengurusinya kalau tidak mendatangkan keuntungan. Kebanyakan warga menggantungkan harapan di atas pundak kita.