Khianat

CERPEN AKBAR AP

“Sudah kuduga, kalian cerdas. Tapi, bodoh juga.” Datang Pak Rudy dari arah ruang tamu.

“Maksud Bapak?” tanyaku, ragu-ragu.

“Kalian sebentar lagi akan ditangkap.” Tawanya kembali keras terbahak.

Bak tersengat petir, aku dan Ibaruri terkejut bukan main. Gadis itu menenggelamkan ketakutannya dalam pelukan.

“Kalian terlalu idealis! Padahal dengan uang, kita bisa tetap hidup. Organisasi tetap berjalan. Sejahtera didapat. Enak, bukan?” terang Pak Rudy sambil selangkah demi selangkah mendekati.

Rasanya tidak percaya senior pejuang sepertinya bisa berkata seperti itu. Ibaruri mulai terisak menangis.

Bentuk perasaan kekecewaan dan penyesalan yang tidak bisa kuterka seberapa dalamnya.

Pak Rudy mengisyaratkan sesuatu dengan senter yang diambil dari saku celana pada sesuatu yang kurasa membahayakan di belakangnya.

“Mun, kalau kita mati malam ini, tolong cari aku di surga!” ucap Ibaruri, terbata.

Cepat kututup bibirnya dengan telapak tangan. Tatapan matanya meredup, tanda tiada harapan. Aku menghela napas. Mau tidak mau memanfaatkan itu, pikirku.

Dari saku celana, aku mengambil sebuah bom waktu non aktif yang sempat aku simpan. Ku aktifkan lalu spontan aku lempar ke arah Pak Rudy.

Bersamaan dengan suara tembakan yang menyalak. Aku menarik Ibaruri untuk berlari ke arah pintu keluar yang berada di dapur. Terdengar suara ledakan di belakang.

Perasaanku sejujurnya cemas dengan Ade Irma. Bocah itu tidak tahu apa-apa. Dia hanya tahu tentang bapaknya sebagai seorang pejuang HAM.

Aku dan Ibaruri cepat berada di luar. Area taman belakang rumah terhampar luaas dengan kerlap-kerlip gemintang di langit.

Sebuah mobil Kijang baru yang aku kenal pun mendekat. Pintu belakang terbuka. Kaca pengemudi terbuka. Tersenyum Ade Irma dengan derai air mata.

Lihat juga...