“Memang perjuangan adalah pelaksanaan dari kata-kata. Tapi, kamu perlu menimbang juga risikonya. Jangan sembarangan!” Pak Rudy menambahkan dengan sedikit lebih tegas.
“Maaf, Pak. Nanti kita berpisah sendiri-sendiri atau bersama?” Ibaruri takut-takut bertanya.
“Kamu aneh, Nak! Berpisah ya, sendiri-sendiri. Sekurang-kurangnya kamu bersama Munir.” Tukas Pak Rudy.
“Sekarang strateginya begini. Mereka sepekan lagi akan menggerebek rumah kita ini. Dari saat ini, tolong persiapkan segala sesuatunya agar kalian selamat dalam pelarian.”
Aku dan Ibaruri akhirnya beranjak setelah berbicara beberapa menit kemudian. Ke kamar masing-masing untuk mengemas perbekalan yang perlu-perlu saja agar tidak terlalu repot. Hari cepat berganti.
Tanpa terasa, akhirnya tiga hari menjelang penggerebekan tiba. Sepanjang hari-hari itu, banyak sekali ancaman intimidatif didapatkan.
Surat Kaleng, peletakan bom waktu dalam plastik hitam, suara tembakan di atas atap di malam hari, suara seruan menyerah dari megaphone di tengah malam, dan masih banyak lagi.
Untungnya Pak Rudy punya segudang solusi. Aku, Ibaruri, dan Ade Irma yang melaksanakannya.
Malam sebelum hari ketiga, suara pesawat tempur bolak-balik di udara. Aku terjaga dibuatnya.
Hati-hati aku ke kamar mandi untuk sedikit membersihkan diri. Kemudian, keluar kamar dengan membawa koper perbekalan, menuju kamar Ibaruri. Gadis itu keluar kamar juga, bertemu di depan, dan saling pandang sejenak.
“Aku curiga dengan Pak Rudy, Mun. Apa sebaiknya kita lari saja malam ini?” tanya Ibaruri, bergetar suaranya.
Aku belum sempat menjawab, terdengar suara tawa terbahak-bahak. Reflek Ibaruri menggamit tanganku dan agak merapatkan tubuh wanginya.