Sedangkan, generasi pertama sudah benar-benar habis. Beberapa orang dari generasi kita sebagian besar sudah terbeli.” Pak Rudy tidak sanggup melanjutkan.
Aku dan Ibaruri saling berpandangan lagi. Suasana ruang tamu menjadi terasa beku. Pak Rudy mengisyaratkan untuk meneguk kopi. Sekadar pencair situasi percakapan.
“Syafrudin Munir Wijaya, Ibaruri Fatma Maudianti. Kalian punya integritas, tidak ingkar janji meskipun kadang molor dari awal kesepakatan waktu pertemuan, dan tidak mudah terlarut dalam perasaan sesal karena kalian cepat bangkit. LSM ini hampir mati.
Tinggal saya sebagai pemimpin dan pembimbing kalian, Ade Irma Kancil sebagai anak turun saya yang kemungkinan akan meneruskan serta mengusung perjuangan kita pada generasi ketiga, dan kalian berdua. Semula LSM ini dikenal karena sepak-terjang Tuan dan Nona.
Namun, mereka dipanggil Tuhan begitu cepat melalui tragedi yang sengaja dirancang pihak-pihak tertentu.” Pak Rudy berhenti. Seteguk kopi membuatnya reda dari emosi yang bergelora.
“Jadi begini, informasi itu mengatakan kalau LSM kita akan dibubarkan. Perasaan kita hanya membela HAM, kan? Tapi, begitulah! Pemerintah kita sudah terlalu tiran. Untuk itu, sebaiknya kita berpisah terlebih dahulu. Kita sembunyi! Tolong, jangan bantah kata-kata saya. Saya sayang kalian, karena itulah kita harus menyelamatkan diri.”
Aku mengisyaratkan untuk bicara. Pak Rudy mengangguk. Ibaruri menyiratkan ketidaksetujuan dalam tatapan.
“Lantas, bagaimana aset kita, Pak? Terus, kemana idealisme warisan Tuan dan Nona?” desakku, agak tersengal dengan kemarahan.
“Kamu membela HAM dengan kata dan aksara. Sementara mereka melawan kita dengan uang dan senjata. Kamu berani menghadapi semua itu?” Ucapan Pak Rudy menohok hatiku sehingga aku hanya mengangguk setuju saja akhirnya.