Resep Rahasia Bitirah

CERPEN AJUN NIMBARA

JAUH sebelum aku terpisah dari tubuh ringkihnya, Bitirah hanyalah wanita sebatang kara yang tidak memiliki keinginan lebih selain bertahan hidup semata.

Aku bisa melihat ketulusan dari tatapan matanya yang remang dan senyumnya yang banal. Sedangkan ia ―perempuan yang datang pertama kali dengan menenteng tas Gucci merah― memang sudah lama ingin bertatap muka dengan Bitirah.

Pagi itu, sebuah aroma menguar dari bakul anyaman yang selalu dipakai Bitirah. Pelepah pecel yang sangat menggiurkan telah tertampung penuh di dalam baskom.

Tahu, bumbu, menjes, semur cakalan, sawi, toge, kenikir, dan bayam bergumul dalam satu nampan. Bitirah duduk di atas lincak sambil mengibas-ngibas tubuhnya dengan potongan kardus. Keringatnya berceceran. Bau badannya sudah tak ada beda dengan pelepah pecel yang berkubang kental di dalam baskom.

Orang-orang sudah menanti nasi pecelnya. Tidak butuh waktu lama. Para ibu, bapak, dan anak-anak muda langsung mengerumuni. Mereka membentuk barisan antre mengelilingi bakul Bitirah. Dengan begitu cakap, Bitirah menakar nasi, lauk, sayur dan bumbu pecel ke dalam kertas plastik kemudian menutupnya dengan rapat.

Di kampung ini, tidak perlu susah-susah mencari sarapan atau makan siang enak. Semua sudah tahu dimana harus mendapatkan pecel paling enak dengan harga terjangkau. Bitirah selalu mangkal di pinggir Jalan Raya Simpang Siur, tak jauh dari rumahnya.
***
MENJELANG sore, Bitirah mengemas jualannya. Ia memindahkan lauk pauk ke dalam plastik kresek dan menyimpulnya erat-erat. Bitirah tidak pernah membawa pulang nasi. Nasinya selalu habis sebelum waktu yang ditentukan.

Lihat juga...