Belum selesai mengemas, seorang perempuan datang mengendarai motor sejurus kemudian. Ia berhenti di dekat bakul Bitirah, lalu turun dan melepas helmnya. Ia menghampiri Bitirah yang sedang berkemas-kemas
“Lho, sudah tutup ya, Bu?” tanyanya.
“Sampun, Bu. Niki sampun telas sedaya. Mbenjing mawon, nggih. (Sudah, Bu. Sudah habis semua. Besok saja, ya),” ujar Bitirah dengan santun.
Perempuan itu terlihat kecewa. Ia menghela nafas dan membuka kacamata hitamnya. Dikibas-kibaskan rambutnya yang disemir pirang.
“Ya sudah, Bu. Besok saya ke sini lagi.”
Besok paginya, ternyata perempuan itu datang kembali ke bakul Bitirah. Setelah hampir setengah jam mengantre, tibalah gilirannya. Ia membeli lima belas bungkus nasi pecel dengan bumbu terpisah.
“Waduh! Banyak sekali, Bu. Damel sinten? (Untuk siapa).”
“Buat orang-orang rumah, Bu. Semua pada bilang pecel di sini sangat legendaris. Maka saya tertarik dan langsung ke mari.”
Bitirah tersenyum mendengar pujian itu. Sambil menakar lima belas nasi pecel, Bitirah berbincang-bincang dengan perempuan itu. Tidak butuh waktu lama untuk membungkus lima belas nasi pecel bagi Bitirah. Ia sudah begitu lihai melakukannya.
Pada hari-hari berikutnya, perempuan itu seringkali mendatangi bakul Bitirah. Ia menjadi salah satu pelanggan tetap Bitirah. Mereka selalu berbincang saat melakukan jual beli. Suatu saat, dengan penuh harap, perempuan itu menanyakan resep bumbu pecel Bitirah. Dengan santai dan sambil membungkus nasi, Bitirah pun memberitahu.
***
SUDAH sekian lama Bitirah bertahan hidup dengan bakul nasi pecelnya. Ia tidak membutuhkan siapa pun untuk mempersiapkan semua. Bitirah hidup sebatang kara. Sudah puluhan tahun ia ditinggal pergi suaminya ke luar kota bersama wanita kaya, lantaran bosan hidup miskin bersamanya.