Malam beranjak larut. Meninggalkan sinar bulan yang menyentuh kerlipan bintang. Orang-orang sudah beranjak beberapa menit yang lalu, hanya tersisa aku dan Wildan di perempatan jalan Delima.
“Kau tidak ingin pulang, Hanum?” tanya Wildan sembari mengusap-usapkan tangan pada jaket yang dikenakannya.
“Belum. Kau pulang dulu saja, aku tidak masalah.”
Malam ini cuacanya sangat dingin, entah karena sehabis hujan atau memang sudah malam. Aku melihat arlojiku yang menunjukkan pukul 22:30. Ayah pasti sedang menungguku di ruang tamu dengan secangkir kopi dan sepiring gorengan di depannya.
Kemudian menyalakan televisi dan tertidur dengan sendirinya. Saat aku datang, ayah akan segera bangun dan menyodoriku seribu pertanyaan.
“Ayah bukannya mengekang, tapi sadarlah kau ini perempuan.”
“Ayah, aku ini pulang malam bukan apa-apa. Aku hanya suka pemandangan di ujung perempatan sana saat tengah malam. Jangan menuduh aku yang tidak-tidak. Lagi pula aku pergi bersama Wildan,” elakku berulang kali dengan alasan yang sama. Toh memang benar, aku hanya duduk di sini dan memandang langit hingga semunya hilang.
Lamunanku terhenti saat kurasakan tangan Wildan berkibas di depan wajahku, membuatku menoleh padanya. Sekilas aku melihat Wildan tersenyum, rambutnya yang agak panjang menutupi sebagian kening.
Tak lama kemudian rambut tersebut dikibasnya ke belakang. Sebut aku penipu bila aku mengatakan tidak mencintai Wildan.
Jantungku selalu berdegup lebih kencang saat melihat wajahnya, bahkan hanya mendengar namanya saja serasa ada letupan kembang api di depan mata. Sehari tak bertemu Wildan rasanya rindu setengah abad.