Dua Perempuan yang Disembunyikan Tuhan di Surga

CERPEN DODY WIDIANTO

Jika telah usai kubacakan ayat-ayat kesepian pada ragamu yang perlahan luruh, tak akan kubiarkan siapa pun menyentuh. Bahkan pada lalat yang menyebar benih belatung di wajahmu. Aku percaya, kematianmu tak pernah sia-sia, Mona ….

***

Setahun yang lalu aku mendatangi penguburan tersunyi di muka bumi. Tak ada isak tangis. Tak ada dengung kitab suci. Tak ada pula suara ratapan ayat-ayat kesepian dari yang ditinggalkan, tetapi yang pasti, suara burung kedasih tak pernah berhenti bernyanyi. Tepat di atas pohon jati di samping kubangan yang telah dipersiapkan.

Seminggu sebelum penguburan itu, selesai aku menjalankan tugas, burung itu seperti ikut pulang menuju rumahku. Awalnya kuanggap kebetulan. Namun, entah kenapa burung itu selalu bernyanyi di tengah malam. Di atas genting kamarku.

Aku menghitungnya. Jumlah suara kuhitung ganjil. Entah burung itu sedang menjawab panggilan dari langit atau malah mengajak betinanya bercinta. Kata orang, itu suara pengantar kematian, tetapi aku tak acuh pada anggapan orang-orang.

“Bapak, aku buatkan sayur sop, ya?”

Bapak tak menjawab pertanyaanku. Ia yang terduduk di samping meja makan menunggu sarapan hanya mengangguk setuju. Sepeninggal ibu, wajah bapak terlihat kuyu. Ia hanya terus menunjuk ke atas genting. Tepat saat suara kedasih itu juga terdengar. Kadang aku mengusirnya. Rasa jengkel membuatku tak mau memercayai mitos itu.

Menjelang malam, suara burung itu terdengar lagi. Berulang-ulang.

Aku menyelinap ke kamar bapak. Memastikan ia baik-baik saja. Sebuah pemandangan yang membuatku hanya bisa mengelus dada. Ia selalu membaca buku harian milik ibu. Menciumnya. Lalu lelehan bening itu tiba-tiba keluar dari ujung mata tanpa kehendaknya.

Lihat juga...