GORIS tidak pernah berpikir kalau suatu hari akan menjadi orang yang gemar mengamati segala sesuatu yang menghilang. Dulu ia menganggap sesuatu yang hilang itu biasa saja.
Sebatang pohon yang sudah hidup puluhan tahun di pinggir jalan, tumbang, lalu lama-lama hilang tak berbekas, tanpa ada satu orang pun yang benar-benar memperhatikannya. Sepasang sepatu masa kecil, tahu-tahu tak ada lagi di dalam rak atau tempat penyimpanan—begitu pula barang-barang sejenisnya.
Binatang peliharaan mati, seekor demi seekor. Orang-orang pergi ke tempat lain, sebagian besar tidak pernah kembali. Bangunan yang pernah ada, diruntuhkan, lalu muncul gedung-gedung baru.
Tak ada yang rasanya aneh. Tak ada yang membuatnya mesti meluangkan waktu khusus untuk memikirkan semua itu.
Sampai pada satu sore, Goris sudah berumur tujuh belas tahun ketika itu, ia keluar rumah untuk pergi latihan drama di sekolah. Di gang depan rumahnya, sekelompok bocah perempuan asyik bermain lompat tali.
Salah seorang dari mereka anak tetangganya. Gadis kecil itu sering bertandang ke rumah Goris. Membaca buku-buku atau belajar menggambar. Bermain catur atau berkebun.
Di kebun, ia suka melihat kupu-kupu. Ia memang tergila-gila pada serangga itu. Bahkan ia sering meletakkan serombongan kupu-kupu di rambutnya—tentunya itu kupu-kupu mainan.
Dan di sore itu, si gadis kecil sama sekali tidak melihat ke arah Goris yang sengaja memperhatikannya. Ia asyik melompati tali yang diayunkan dua orang temannya. Selama setengah menit Goris memandanginya sambil tersenyum-senyum.
Gadis kecil itu melompati tali yang diayunkan, melayang dengan serombongan kupu-kupu di kepalanya.
Goris tidak mengira, itu kali terakhir melihatnya.