“GADIH, tolonglah, beri aku kesempatan!” Laki-laki bersuara parau itu mendekat ke pangkal pohon sialang yang dipanjat Gadih.
“Sudah puluhan kali kukatakan, ini jalan hidup yang kupilih. Aku sudah tak peduli dengan apapun yang digunjingkan orang-orang tentangku. Lagi pula, apa salahnya seorang perempuan menjadi pencari madu? Dan Uda juga tak perlu merasa kasihan padaku,” balas Gadih seraya mulai mengurai gulungan tali yang tergantung di pinggangnya.
“Percayalah, aku sudah menganggap Lian seperti anakku sendiri.” Ia mengambil sepotong ranting di tanah.
“Lalu?” Gadih berhasil mengikatkan pangkal bambu ke batang pohon sialang.
“Ya, tidakkah kau berpikir kalau dia juga butuh sosok seorang bapak?”
“Lian tahu kalau Bapaknya sudah meninggal. Ia harus belajar menerima kenyataan itu.”
“Jangan kau bohongi dirimu sendiri, Gadih. Kau bisa memilih jalan hidup yang lebih baik.”
“Sudahlah. Uda hanya membuang-buang waktu Uda di sini. Pulanglah. Aku harus mengambil sarang lebah ini sebelum hari lindap.”
“Aku bisa membantumu kalau kau………..”
“Pulanglah!”
***
SEHARUSNYA Gadih sudah mempersiapkan diri sejak lama, bahwa sebagai pencari madu, maut sudah mengintai suaminya di setiap cabang pohon yang ia naiki.
Namun, ketika kabar buruk itu benar-benar sampai ke telinganya, ia bahkan tak sanggup menopang badannya sendiri, lalu jatuh meraung-raung begitu orang-orang datang membawa jasad suaminya dari hutan.
Andai ia bisa membaca garis takdir, ia tentu tak akan melepas suaminya pagi itu dengan muka masam, apalagi sampai membiarkan laki-laki itu pergi ke hutan hanya berbekal sekepal nasi dingin yang ia santap bersama minyak dan garam.