Malam terus menegaskan kuasanya. Bias-bias gelap menelisip halus lewat beberapa celah padepokan. Di luar angin memburu dedaunan dan terus berhembus memporak-porandakan sepi yang tertata dalam setiap sudut padepokan.
Ya, sepi kian akut. Sudut-sudut padepokan dan halaman menjelma menjadi pahatan bisu yang maknanya kian memudar.
Malam kian menua. Lelaki tua itu masih saja sendirian di halaman padepokan. Sepi. Sengaja malam ini lelaki yang sering disapa Guru itu ingin menghabiskan malamnya di halaman padepokan yang sudut-sudutnya tampak muram.
Tiga tahun padepokan ini tidak terurus. Para pengikut yang dulu jumlahnya ratusan, satu demi satu meninggalkan padepokan lantas mencari padepokan lain untuk mencari ilmu, baik ilmu kanuragan maupun berbagai ilmu yang berguna dalam menjalani kehidupan.
Bukannya Guru tidak tahu penyebabnya. Ia paham, sangat paham. Namun ada hal lain yang lebih menekan jiwanya yang lantas membuat lelaki tua itu menepiskan kesadarannya.
Langit malam menghitam dan kian menghitam. Ada semacam jelaga yang menggaris tebal pada setiap titik dan sudut langit. Hujan tampaknya sebentar lagi turun.
Beberapa kali kilat menampar dari berbagai sudut. Namun Guru masih saja membisu pada kursi besar di halaman padepokan yang sudut-sudutnya sudah mulai rapuh. Rapuh seperti hati lelaki yang seluruh rambutnya sudah memutih itu.
Di belakangnya duduk dua lelaki yang usianya lebih muda dari pada Guru. Bahkan lelaki di sebelah kirinya masih sangat muda. Dua lelaki itu pengikut Guru yang masih setia mendampingi Guru sampai malam ini.
Mereka tidak tega meninggalkan Guru sendirian di padepokan dalam keadaan yang tidak tentu. Sementara ratusan pengikut yang lain sudah lama meninggalkan padepokan.