Khianat

CERPEN AKBAR AP

“Mari, Kak! Aku tahu, Kak Munir yang membunuh Ayah dengan bom itu. Tapi, tidak mengapa. Irma iklas, karena kalau tidak begitu, Kita semua akan mati.”

Aku saling beradu tatapan dengan Ibaruri sesudah yakin akan kejujuran pada mata Ade Irma.

Lalu beranjak masuk. Tepat pintu tertutup, Irma mematikan mobil. Berlaku sebagai mobil tanpa penumpang akan mendatangkan selamat.

Sebab saat pintu tertutup, sinar senter pesawat tempur siluman (tanpa awak) menerangi taman belakang rumah.

Tinggal kita bertiga. LSM ini harus bubar. Kita akan mencari hidup baru di tempat baru. Irma, sebaiknya kamu bersama Ibaruri! Aku yang mengemudi.” Ucapku sambil meletakan koper tempatku dan Ibaruri di bagasi belakang dengan hati-hati.

Ade Irma pindah melalui celah tengah kursi. Aku membuka sedikit pintu , cepat-cepat berpindah ke depan setelah yakin kalau situasi aman.

“Lucu, seharusnya negara menambahkan radar sensor panas tubuh manusia pada pesawat tempur pengintai itu.” Gumamku.

“Tapi, tidak, kan?” timpal Ibaruri.

Suasana mulai menenang. Aku melajukan mobil menuju jalan yang sepi. Ade Irma dan Ibaruri ngobrol pelan di belakang.

“Seharusnya kita aman. Soalnya besok mereka baru datang. Dia hanya mengancam saja tadi sembari mendatangkan satu dua orang.” Gumamku, lagi.

“Maafkan Ayah, Kak.” Ade Irma tidak berani meneruskan.

“Tidak apa-apa. Takdirnya memang begitu. Kakak bisa menerima.” Jawabku, mencoba ikhlas.

Tebakanku benar. Sampai pagi, perjalanan kami berlangsung lancar dan aman. Dua kota sudah terlewati.

Namun, perbatasan Negeri Singa masih jauh. Harus melalui dua selat. Mau tidak mau mencari kapal yang aman dan tentunya bukan milik negara.

Lihat juga...