Minuman itu menguatkan tubuh perempuan yang mau melahirkan. Aneh. Mimpi-mimpi mencemaskan yang muncul dalam sepertiga malam tidur Dewi Laksmi, tak lagi menghantuinya. Ia tidur nyenyak. Bangun dengan tubuh bugar.
Berjalan-jalan selagi pagi berkabut dengan udara segar. Mak Yah mendampinginya. Perempuan tua itu seperti tak pernah tidur. Tak pernah beristirahat. Tak pernah mengeluh. Begitu cepat ia memikat hati Dewi Laksmi. Perempuan tua itu lebih dari sekadar ibu, lebih dari seorang pembantu. Ia seorang pelindung.
***
TAK ada Wisnu. Dia masih terbang ke Turki. Menjelang isya ia menelepon dari Bandar Udara Esenboga, utara kota Ankara. Tetapi Dewi Laksmi tak cemas menghadapi kelahiran anaknya.
Menjelang dini hari, tiba saatnya ia mesti melahirkan. Ia ditemani Mak Yah dan Ayah ke rumah sakit. Lenyap sudah bayang-bayang kecemasannya. Mak Yah memberinya ketenangan, mengajarkannya kepasrahan, bahkan mengajarkan keagungan perempuan yang melahirkan.
Tiap kali menjelang tidur perempuan tua itu senantiasa berkisah tentang ibu yang mulia, bahagia mengandung serta melahirkan anak.
Tepat azan subuh berkumandang memenuhi langit, terdengar tangis kencang bayi lelaki yang lahir dari rahim Dewi Laksmi. Ketika bayi lelaki itu sudah dibersihkan, Mak Yah tersenyum dan sepasang matanya bercahaya, menggendongnya, menunjukkannya dengan penuh kebanggaan pada Dewi Laksmi.
“Ganteng seperti Wisnu waktu lahir,” kata Mak Yah, penuh pemujaan. “Gelombang rambutnya hitam dan halus, hidung yang mancung, dagu kukuh. Lihat, bayi ini akan jadi lelaki gagah seperti ayahnya. Siapa namanya?”
“Krisna,” sahut Dewi Laksmi. “Bukankah Krisna titisan Wisnu?”